Aku dan Sahabat Disabilitasku

“TIDAK, aku tidak mau jika acara ini dilaksanakan di panti anak berkebutuhan itu.” Aku berdiri dan membentak salah satu anggota rapat yang usul tentang rencana lokasi diadakannya agenda bakti sosial SMA kami. Saat ini kami tengah melaksakanan rapat OSIS mengenai agenda bakti sosial yang akan kami selenggarakan sebagai program wajib tahunan OSIS SMA kami.

“Lantas di mana acara ini akan dilaksanakan?” Tanya pimpinan rapat yang sekaligus adalah ketua OSIS kami.

“Bagaimana jika dilaksanakan di daerah pemukiman warga sekitar? Mereka juga membutuhkan.”

“Oke, usul rencana lokasi bakti sosial bertambah satu dan kini menjadi dua usul. Di panti asuhan anak atau di pemukiman masyarakat sekitar. Apakah ada yang ingin menambahkan usul lain?” Pimpinan rapat menyapu bersih seluruh sudut aula sekolah, tempat untuk rapat ini.

“Jika tidak ada usulan lain, silahkan seluruh anggota memilih satu diantara dua pilihan tersebut. Tolong sekretaris dibagikan kertasnya.” Pimpinan rapat menyerahkan beberapa kertas ukuran lima-kali-tujuh-sentimenter kepada sekretaris yang diteruskan kepada seluruh anggota rapat termasuk aku. Aku pun lantas menuliskan tempat usulanku di kertas yang di bagikan oleh sekretaris.

“Oke, waktu habis, silahkan kertas tersebut dikumpulkan secara berantai ke depan.” Sementara pimpinan mengambil kertas tersebut, aku berharap bakti sosial ini diadakan di sekeliling sini saja. Buat apa jauh-jauh ke panti. Kan yang lebih dekat ada. Lagi pula di panti kan hanya ada anak-anak. Apalagi panti anak berkebutuhan. Sudah banyak dermawan yang membantu dengan wajah memelas mereka. ‘Menjijikan’.

Penghitungan suara dimulai. Aku masih cemas.

“Dan dari tiga-puluh anggota rapat yang hadir di ruangan ini, dua-puluh orang memilih panti asuhan, sementara sepuluh orang lainnya memilih warga sekitar. Jadi bisa diputuskan tempat bakti sosial ini adalah panti asuhan anak berkebutuhan di Jalan Sudirman.”
Usulanku ternyata tidak banyak yang memilih. Aku kalah. Tapi tak apalah sebagai anggota rapat yang berjiwa besar, harus menerima apapun keputusannya walau kalah.

“Untuk waktu agar lebih cepat, bagaimana jika hari minggu esok? Dan untuk bantuannya berupa pakaian pantas pakai yang telah terkumpul dari siswa dan berupa uang tunai yang akan dibelikan sembako dari sekolah. Setuju?”

Serempak semua angotta berkata, “Setuju...”

Hari ini cuaca cerah. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Burung-burung kecil mulai bersiul bersahut-sahutan bak penyanyi yang sedang konser diiringi alunan orkestra ternama dunia. Hari bersantai setelah enam hari penuh sekolah ataupun kerja. Minggu pagi. Tapi hari ini aku harus bangun pagi untuk menjalankan tugas dari sekolah. Tugas Negara. Walau sebetulnya masih agak malas. Tapi aku sudah dipilih menjadi perwakilan yang telah ditunjuk oleh ketua OSIS menemani sembilan anggota lainnya.

Kami berangkat dari sekolah pukul 08.00 menggunakan dua mobil ditemani dua guru pendamping. Enam-puluh menit perjalanan telah kami lalui. Agak jauh memang.

Sesampainya disana, kami disambut oleh para kakak pembimbing, pengelola sekaligus sebagai guru dan terapis muda. Dengan ramah tentunya. Kami pun menyerahkan bahan-bahan sumbangan dari sekolah kepada kakak-kakak tersebut. Kami pun menyempatkan masuk kedalam panti asuhan itu.

Awalnya aku agak ‘jijik’ dengan perilaku atau kondisi mereka yang berbeda dengan kami. Tapi aku juga merasa kasihan dengan anak-anak yang tidak seberuntung kami ini. Aku pun terdiam sejenak. Tak seperti anggota OSIS lain yang sibuk bertanya dan berkeliling ataupun mengajak mereka bermain.

Aku terus berdiam. Hingga ada seorang anak yang terus memandangku. Usianya kira-kira lima tahun lebih muda dari aku. Terus memandangku dibalik kertas mirip kanvas miliknya. Aku pun mendekati anak itu.

Oh Tuhan… sungguh malang anak ini. Dua tangannya terpotong hingga siku. Kaki kirinya terpotong sampai lutut. Hanya kaki kanannya yang tersisa utuh. Sedang apa dia?

“Dik, sedang apa?” Tak ada jawaban dari anak itu. Diam dan terus mengamatiku.
“Ryan mengalami gangguan pendengaran karena kecelakaan yang menimpanya.” Jelas salah satu terapis yang tiba-tiba datang kepadaku.
“Dia juga kehilangan kedua tangan dan salah satu kakinya. Selain itu pita suaranya pun putus. Dia dibawa ke sini karena keluarganya meninggal pada kecelakaan yang sama dengannya. Dia yatim-piatu.”

Aku diam dan berkata dalam hati, “Oh… Benar-benar malang anak ini. Ryan telah merasakan kekejaman dunia. Padahal anak seusianya adalah masa anak-anak yang paling menyenangkan. Tapi kondisinya tidak memungkingkan untuk merasakan indahnya dunia. Oh Tuhan.” Aku sedih melihatya. Aku ingin meneteskan air mata. Tapi tak mungkin.

“Jika kau ingin berbicara dengannya, tulis di papan ini.” Terapis itu pun menyerahkan papan tulis putih kecil ukuran dua-puluh-kali-tiga-puluh-sentimeter.

Aku pun ingin menuliskan suatu pertanyaan atau entah apalah kepada anak itu. Tapi aku ragu untuk melakukannya. Hey, lihat. Anak itu sedang melukis diatas kanvas kertas berukuran A3. Apa yang dia lukis? Bagaimana dia melukis jika tidak ada tangan? Dia melukis menggunakan satu-satunya kaki yang dia miliki. Sungguh mengharukan.

Aku pun memberanikan diri menulis suatu pertanyaan untuknya. Aku mulai menulis. “Apa yang kau lukis, dik?”

Dia hanya menggeleng. Entah apa yang dia maksud. Mungkin aku tak boleh tau atau entah apalah. Sejak itu aku lebih sering bertanya. Dia lebih sering mengangguk dan menggeleng menjawab pertanyaanku daripada menuliskan jawaban. Menggunakan kaki pula.

Hingga aku pun terdiam hanya melihatnya. Tak ada pertanyaan lagi. Aku bingung apa yang harus aku tanyakan lagi. Tentang kondisinya? Itu tak mungkin. Aku takut menyinggung dia.

“Waktunya makan siang.” Suara kakak pengelola panti sekaligus terapis memecah keheningan antara aku dan Ryan. Aku mengajak Ryan untuk makan bersamaku. Tapi Ryan menggeleng. Aku ingin memaksanya. Atpi aku rasa itu tak mungkin. Dia pun akhirnya menuliskan sebuah kalimat untukku. “Kakak makan dulu saja, nanti aku nyusul.” Ya, apa boleh buat, aku pun meninggalkannya.

Kami (rombongan OSIS) pun makan siang bersama anak-anak ini. Bercengkrama. Saling bercanda di ruang makan. Tanpa Ryan.

Setelah makan siang, aku memutuskan untuk kembali menemui Ryan. Tapi sebelum menemuinya aku berkeliling ruangan demi ruangan panti ini. Hey, apa itu? Plakat Penghargaan yang tertempel di dinding. Penghargaan apa? Aku membacanya. Terkejut. RYAN ADI PRASETYAWAN, JUARA I LOMBA MELUKIS. Ryan juara lomba melukis? Aku memutuskan melihat tempelan dinding lain. Penghargaan juga. Nama dan cabang lomba yang sama pula. Aku tak menyangka Ryan bisa seperti ini.

Sampailah aku di tempat Ryan. Kini dia sedang tidak melukis. Mungkin lukisannya telah selesai.

Pukul 14.00, waktunya aku dan teman-temanku untuk pulang. Kembali ke sekolah. Kami pun berpamitan kepada seluruh keluarga panti tersebut. Tak terkecuali Ryan. Saat aku sedang berpamitan dengannya (lewat tulisan). Dia memberiku sebuah gulungan kertas dan sepucuk surat. Apa ini?

Kami semua melambaikan tangan kepada mereka. Tanda perpisahan. Mobil pun meninggalkan lokasi panti itu. Melaju agak pelan karena jalan yang kurang halus. Lambat laun melesat cepat.

Aku penasaran dengan kertas gulungan dan sebuah surat ini. Aku pun membuka satu-per-satu. Mulai dari kertas gulungan ini.

Hey, lukisan siapa ini? Dan ini siapa yang dilukis? Aku? Mirip sekali denganku. Hampir sama persis malah. Lukisan yang menakjubkan. Siapa yang melukis?

Semakin penasaran aku lantas membuka surat itu. “Mungkin surat ini bisa menjawabnya.” Pikirku dalam hati. Ternyata sebuah surat dari Ryan yang ditulis sendiri olehnya. Menggunakan kakinya tentunya. Apa isi suratnya?

Kakak yang baik, terima kasih telah menemani aku selama aku melukis. Oh iya, itulah hasil lukisanku kak. Maaf kalau nggak mirip aslinya. Tapi aku harap kakak menyukainya.

Mungkin kakak, bertanya-tanya tentang kondisiku. Ya, inilah aku kak dengan segala kekurangan. Tapi justru inilah yang membuat aku selalu bersyukur. Inilah kelebihanku kak. Membuatku lebih tenang dalam menjalani hidup ini dan menjadikan aku lebih beruntung. Aku selalu bersyukur kepada-Nya.

Aku tak punya tangan, jadi aku tak mungkin melakukan perbuatan yang sia-sia.
Aku hanya punya satu kaki, jadi aku tak mungkin melangkah untuk kesenangan sesaat.
Aku tak bisa mendengar, jadi aku lebih konsen melakukan hobiku, melukis, tanpa ada suara-suara yang mengganggu.
Aku tak bisa berbicara, jadi aku bisa lebih focus melukis tanpa membuang waktu ngobrol dengan orang lain

Hidup ini selalu indah jika kita melihat dari sisi yang benar pula, kak. Jadi kakak tak perlu merasa sedih jika melihatku. Kalau ada kesempatan, datang ke sini lagi ya kak.
Ryan

Aku sangat terharu membaca surat itu. Ingin aku menangis haru karena Ryan. Kini lukisan yang amat indah itu menggantung di dinding kamarku. Dan Ryan menjadi inspirasiku. “Hidup ini selalu indah jika kita melihat dari sisi yang benar pula, dan tetap bersyukur apa pun yang terjadi.” Ryan, kau adalah sahabat terbaikku.

Sahabat Difabel

6 komentar:

  1. Masya Allah, sangat menginspirasi..
    Keterbatasan memang seharusnya bukan untuk berkarya dan berprestasi..

    Semoga sukses kontesnya sob:)

    BalasHapus
  2. @Muro'i El-Barezy wah kok "bukan untuk berkarya dan berprestasi" sob? Mungkin makasunya "bukan alasan untuk tidak berkarya dan berprestasi" ya sob, hehehe

    terima kasih atas dukungannya sobat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya sob maksudnya keterbatasan itu bukan alasan untuk tidak berkarya dan berprestasi gitu..

      Maaf yah, sukses selalu

      Hapus
  3. keterbatasan bukan sebuah halangan untuk berkarya, bisa jadi dalam keterbatasannya itu terdapat kelebihannya, menyentuh sekali postingannya sob

    BalasHapus
  4. @Thanjawa Arif bener sekali sob, kekurangan bisa menjadi kelebihan apabila kita bersyukur, terima kasih komentarnya

    BalasHapus

Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))