Indonesia, Bangsa Kuat yang Lembek



Indonesia, Bangsa Kuat yang Lembek
Oleh: Ahsanul Marom (1)

Berkenaan dengan tema “Indonesia disebut sebagai Bangsa yang Lembek, Benarkah?” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul Civis Pacem Parabellum di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya sangat setuju karena Indonesia memang negara yang lembek dalam menghadapi permasalah, misalnya permasalahan yang telah dituturkan dalam artikel tersebut mengenai hubungan dengan Malaysia. Pada dasarnya Indonesia terkesan lebih memilih hubungan diplomatik mengenai politik antarnegara daripada perlindungan dan kesejahteraan warga negaranya di negara tetangga.

Salah satu contoh adalah kasus penembakan tiga orang Warga Negara Indonesia (WNI) dalam kasus tuduhan perampokan. Padahal ketiga WNI tersebut belum sepenuhnya bersalah, karena saat ditembak, status ketiga WNI adalah sebagai terduga, yang belum tentu bersalah atau tidak. Namun, pemerintah Indonesia seakan tidak tahu-menahu dan tutup mulut dengan hal tersebut.

Contoh lain adalah persengketaan status Pulau Ligitan dan Sipadan yang memang sudah diincar pemerintah Malaysia sejak tahun 1967. Pada tahun 2002, saat kasus persengketaan tersebut mulai mencuat kembali, pemerintah Indonesia juga terkesan tak acuh mengenai hal tersebut, hingga Mahkamah Internasional memutuskan kedua pulau tersebut milik Malaysia, Indonesia hanya mengikhlaskan, tak berbuat banyak. Padahal sangat jelas bawasannya kedua pulau tersebut (dalam peta) masuk wilayah Indonesia. Namun, kekalahan argumen yang disebabkan oleh tak acuhnya pemerintah Indonesia mengenai hal tersebut, menjadi penyebab lepasnya kedua pulau tersebut. Kini, kedua pulau tersebut menjadi tujuan wisata dengan pendapatan terbesar Malaysia per tahun dalam bidang sosial-budaya. Lantas, siapakah yang perlu disalahkan?

Selain ketidaktegasan terhadap permasalahan luar negeri dengan bangsa lain, bangsa Indonesia juga kurang tegas terhadap permasalahan dalam negerinya sendiri. Misalnya saja dalam artikel yang berjudul “Korupsi Masalah Strategis Bangsa” yang tertulis dalam website www.darwinsaleh.com.

Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa korupsi adalah satu-satunya faktor yang dinilai sangat menghambat pertumbuhan ekonomi (dari 19 faktor sosial-ekonomi-politik-hukum-budaya dalam Survei Persepsi Pasar oleh BI, Agustus-September 2009, atas 100 ekonom/analis/pengamat). 

Di sisi lain, menurut menurut Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan Transparancy International yang melakukan survey tingkat kebersihan akan KKN dan ketidakkorupan di 177 negara pada tahun 2013, merilis Indonesia menduduki peringkat ke-114 atau peringkat 64 negara terkorup di dunia. Di tingkat Asean sendiri, Indonesia duduk di peringkat 4, hanya berada di atas Vietnam, Timor Timur, dan Laos.

Meski telah terbukti demikian, namun penanganan atas kasus korupsi di Indonesia sangat tidak eksplisit dan tidak serius. Ketidak-eksplesitan dan ketidakseriusan penanganan kasus korupsi di Indonesia terbukti dari lambannya putusan penahanan atau pidana terhadap terpidana, yang sebelumnya telah berganti status dari saksi, tersangka dan terpidana.

Lambatnya putusan tersebut terbukti dari kasus korupsi SKK Migas, Rubi Rubiandini. Saat sidang terakhir tanggal 21 Januari 2014, status Rubi Rubiandini adalah saksi. Padahal sudah 5 bulan sejak Rubi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2013.

Hal yang sama juga terjadi dalam kasus yang menggeret Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Hingga saat ini, Akil belum terjerat pidana apapun, hanya pemecatan tidak hormat yang telah diterima. Padahal Akil terbukti tertangkap tangan melakukan transaksi pencucian uang pada tanggal 2 Oktober 2013. Selain itu, Akil juga terlibat kasus korupsi, penyuapan, gratifikasi, dan penggunaan narkoba.

Dalam dua kasus tersebut, penulis tidak menyalahkan KPK sebagai badan resmi pemberantas korupsi, melainkan menyalahkan sistem, proses, dan prosedur hukum di Indonesia yang terkesan berbelit-belit, menyulitkan pembenaran, dan “membela” pelaku dengan praduga tak bersalah.

Selain lambannya putusan penahanan dan proses hukum kasus korupsi, lemah dan lembeknya Indonesia terlihat sangat jelas melalui penahanan terpidana kasus korupsi. Lagi-lagi hukum di Indonesia sangat memihak pada koruptor. Hal itu terbukti dari isi Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa seorang koruptor dapat dihukum pidana seumur hidup atau kurungan 4 hingga 20 tahun.

Akan tetapi pada kenyataannya, pidana seumur hidup hanya sekali terjadi pada kasus Adrian Woworuntu, 10 tahun silam. Lainnya, hanya diganjar hukuman ringan, karena maksimal penahanan hanya 20 tahun penjara.

Misalnya saja kasus Nazaruddin yang hanya divonis 4 tahun 10 bulan yang akhirnya diputuskan 7 tahun kurungan penjara. Hukuman itu sangat ringan jika dibandingkan hasil “rampokan” 4,6 miliyar rupiah. Jika hasil suap itu digunakan untuk pembangunan sekolah dengan keadaan yang sangat riskan, berapa banyak siswa yang merasa bahagia sekolah mereka yang dulunya menghawatirkan kini kembali berdiri kokoh.

Terlebih dari itu, apabila koruptor telah dipidana, bukan jeruji dingin dan keras yang ia terima, melainkan jeruji besi yang sangat mewah, bahkan ber-AC, kulkas, televisi, almari, kunci sel tahanan pribadi, dan lain sebagainya. Seperti halnya jeruji Gayus Tambunan yang mewah, adalah contoh dari “perlindungan” koruptor sekaligus bukti kelembekan hukum di Indonesia.

Hal tersebut di atas menjadi bukti kelemahan Indonesia dalam proses hukum, terutama kasus tindak pidana korupsi. Jika dibandingkan dengan negara lain, koruptor di Indonesia masih sangat aman dan sejahtera. Maka berbahagialah koruptor saat ini.

Di China misalnya, koruptor dihukum mati (tembak, gantung, atau kubur hidup-hidup) di depan para hadirin di pusat kota. Selain itu, pelaksanaan hukuman bagi koruptor tersebut harus ditayangkan secara langsung oleh semua stasiun televisi tanpa sensor dan iklan. Penayangan tersebut juga harus diulang setiap hari selama sebulan penuh. Terlihat kejam memang, tapi itulah ganjaran bagi para koruptor, karena di China kasus korupsi dianggap kejahatan level tinggi. Namun, hal tersebut mampu menurunkan angka KKN di China secara drastis.

Negara yang serumpun dengan Indonesia, ternyata juga memiliki ketegasan yang patut diacungi jempol. Malaysia menghukum para koruptor dengan hukuman gantung. Sementara di negara Islam seperti negara timur tengah, Arab Saudi misalnya, memperlakukan para koruptor dengan memotong kedua tangannya, sesuai dengan hukum Islam yang berlaku.

Dibanding tiga negara tersebut, hukuman di Indonesia masih jauh dibawahnya. Padahal sebenarnya hukuman yang terlihat kejam itulah yang akan menghentikan kasus besar seperti korupsi, sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Lebih memilih mena, membunuh satu orang yang seperti kuman dan jamur atau membunuh rakyat Indonesia lain yang tak berdosa?

Lembeknya Bangsa Indonesia terbukti lagi dengan kasus Rasyid Rajasa yang telah menewaskan dua orang dalam kecelakaan lalu lintas. Dalam kasus ini, Rasyid hanya diberikan hukuman 5 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Aneh memang. Lagi-lagi negara terkesan melindungi anak pejabat meski telah menghilangkan nyawa orang lain dan terbukti salah.

Seharusnya Indonesia harus meniru proses hukum Korea Utara yang tidak melihat apakah dia pejabat pemerintahan atau tidak. Terbukti Jang Song Thaek, paman presiden Korea Utara, Kim Jong Un dihukum mati setelah melakukan kesalahan dalam urusan  kuangan negara. Ketidak-pilih-kasihan inilah yang sejatinya harus ditiru Bangsa Indonesia untuk menciptakan keselarasan hukum antara rakyat kecil, menengah, dan atas.

Di lain sisi, Bangsa Indonesia adalah negara yang kuat. Hal itu terbukti dari Korps Pasukan Khusus (Koppasus) menduduki peringkat ketiga tentara elite internasional dibawah Inggris dan Israel. Tak hanya itu, Alutsista milik TNI adalah perlengkapan perang terbaik di dunia.

Kini pertanyaannya, jika perang saja sudah siap dan merasa kuat, mengapa melawan kasus dalam negeri masih lembek? Mengapa proses hukum yang melibatkan pejabat selalu berbelit?

Sedikit mengutip dari artikel yang berjudul “Civis Pacem Parabellum”: Kalau Ingin Damai Kita Harus Siap Berperang. Mulailah berperang melawan diri sendiri. Hadapi dulu mafia-mafia dalam negeri yang akan mengahancurkan bangsa dan negara layaknya jamur yang kian lama kian menyebar. Tumpas habis para koruptor dengan hukuman mati. Jangan pilih kasih dalam proses hukum. Kuatkan hukum. Hukum tetap hukum dan ini adalah negara hukum. Semua harus patuh dan tunduk terhadap hukum.

Salam Indonesia!

Pati, 28 Januari 2014

***

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”

4 komentar:

  1. Bagus kak.. semangat ya..
    jangan lupa kunjungi blog saya http://orhiehope1803.blogspot.com/2014/01/indonesia-disebut-sebagai-bangsa-yang.html
    terima kasih

    BalasHapus
  2. @Dliyaun Najiihah Terima kasih banyak, semoga dapat menginspirasi kita semua, dan sebenarnya ini hanya opini saya, maaf jika jauh dari kata sempurna

    BalasHapus
  3. Wah.. ini sudah bagus, dari pda di blog saya yg masih jauh dri sempurna, hehehe
    semangat yaaa..

    BalasHapus
  4. @Dliyaun Najiihah Terima Kasih lagi, kesempurnaan hanya milik Allah, semangat juga

    BalasHapus

Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))