Embun Pagi




Hidup ini penuh dengan keheningan
Hidup ini hampa, sunyi, senyap, kosong
Hidup ini bagaikan setetes embun yang mengalir di dedaunan
Menetes perlahan, membasahi taman
Kian hilang, saat siang menjelang
Musnah, hilang seketika
Air mata merembah di tanah lapang pagi ini. Semua larut dalam kesedihan yang mendalam. Satu-dua tampak meneteskannya di pundak lainnya, membasahi kain hitam yang terampai.
Hening.
Andai aku tak beritahu dia tentang itu, pasti tak begini jadinya! batin seorang yang tak kuat menahan deru air mata yang kian berlinang, bergejolak dalam relung, jatuh tersungkur di atas tanah.
Tiga puluh menit berlalu. Satu-per-satu orang meninggalkan tanah lapang. Kerumunan telah hilang. Kini tinggal seorang itu yang terus menangis, tak kuat menahan pilu. Menyesal, memeluk batu nisan. Boleh jadi ia adalah orang pertama yang paling kehilangan.
 “Embun! Embun!”
Pekik itu menghentikan gerak Embun di taman sekolah siang ini. Gerak sendok yang ia genggam pun terhenti. Gadis berambut lurus sepinggang itu pun mengerutkan dahinya, mencari sumber suara yang menghentikan makan siangnya.
“Embun, kamu sudah liat papan pengumuman belum?”
“Ada apa?” Embun mengerutkan dahinya, penuh tanya.
“Yah…, kok belum sih!” jawab Tasya kecewa. “Nih kalau belum!”
Dengan sigap, Embun menyambar selembar kertas yang di berikan Tasya, meletakkan bekal makan siang di sebelahnya.
“Itu sih kalau kamu ingin ikut aja. Tapi seandainya kamu ikut, aku yakin pasti kamu menang.”
Embun masih membaca pengumuman lomba kreasi puisi dengan seksama.
“Lumayan hadiahnya keren lho!”
“Kamu ikut?”
Tanya tersenyum garing, “Kalau aku sih nanti-nanti dulu.”
Mereka berdua pun menatap satu sama lain. Saling berpandangan, lantas Embun mengangguk dan tawa pun tak terhindarkan.
Mentari telah tenggelam sempurna, meninggalkan indahnya tawa.
Embun masih terus memikirkan ide untuk lomba yang berakhir esok hari. Sesekali ia tuliskan di note book kecilnya. Sesekali pula mencoretnya dengan tinta merah. Tak cocok, tidak sesuai dengan tema.
“Embun, makan dulu ya!”
“Nanti, Mah!”
Boleh jadi itu adalah penolakan yang kesekian dari Embun kala sang Bunda menyuruhnya makan. Alhasil sang Bunda harus menyuapi gadis putih-biru itu, menyuruhnya minum obat. Bukti rasa sayang sang Bunda yang akan selalu ada untuk anaknya akan selalu ada, meski zaman telah terhempas.
Malam semakin larut, Embun masih berkutat dengan calon puisinya. Menyusun rangkaian kata, memilih diksi, mengindahkan dengan rasa, semua dilakukannya hingga lupa waktu. Maklum saja mau tak mau puisi untuk lomba itu harus jadi esok hari. Untunglah besok hari libur.
“Mah, aku pergi dulu ya!”
“Embun mau ke mana?”
“Mau kirim ini, Mah. Buat lomba.”
“Biar mamah aja yang antar, ya?”
“Embun bisa sendiri kok, Mah. Embun tak mau repotin Mamah.”
“Tapi, kamu tak boleh kecapekan, sayang!”
“Nggak kok, Mah! Embun mau sekalian sepedaan pagi. Please, Mah!”
“Tapi jangan sampai siang. Kamu harus minum obat.”
“Siap, Mamah sayang!”
Embun pun tertawa riang, permintaannya dikabulkan. Sangat jarang kesempatan ini terjadi. Maklum saja sang Bunda selalu khawatir dengan kesehatan Embun yang semakin lama semakin tak stabil. Sedikit saja ia merasa kecapekan dan memaksakan, akan semakin parah jadinya. Pun saat memikirkan hal yang berat, marah, atau hal lain yang menyita pikirannya.
Lekas Embun mengeluarkan sepedanya dari garasi. Memakai sweater birunya, menaruh amplop coklat dalam keranjang sepeda.
“Hati-hati, sayang!”
Embun pun lekas melajukan sepedanya di jalanan mulus beraspal komplek perumahan mewah itu, menuju kantor pos yang hanya berbilang dua ratus meter.
Namun, sayang, hari libur, kantor pos pun libur. Embun kecewa. Sangat kecewa malah. Hampir ia menangis di depan gerbang kantor pos yang terkunci rapat. Tapi Embun tak kehabisan akal. Lekas ia melajukan sepeda ke arah alamat yang ia tulis di amplop, berniat mengantarkan sendiri di kota kabupaten tetangga.
Sebenarnya alamat itu cukup jauh untuk seorang anak yang mengendarai sepeda. Namun, tekad Embun telah bulat. Aku pasti bisa mengantarkan puisi ini. Aku harus bisa. Aku harus menang, pikir Embun.
Hari semakin siang, panas mentari semakin terik. Setengah jalan telah dilalui. Pelan tapi pasti. Sesekali berhenti, menengguk air yang dibawa. Embun masih berjuang mengirimkan puisinya itu.
Tepat pukul dua belas siang, Embun tiba di alamat yang dituju. Diserahkannya surat itu. Hatinya kini berbunga, melihat suratnya telah diterima. Kini saatnya ia pulang.
Berbeda. Perjalanan pulang kali ini lebih berat dari berangkat tadi. Lelah, Embun telah merasa lelah. Bekal minumnya habis. Berat, kayuhan sepeda semakin berat. Matanya sayu, tak terlihat lagi apa yang ada di hadapannya.
“Pah, sudah sore tapi Embun belum pulang.”
“Paling juga lagi main sama Tasya, Mah!”
Kekhawatiran orang tua terhadap anaknya ini ternyata benar terjadi. Embun dibawa oleh seseorang ke rumah sakit karena ditemukan pingsan di pinggir jalan dengan darah yang keluar dari mulutnya. Sepedanya tergeletak di sebelahnya.
“Kali kanker otak yang menyerang Embun kian parah. Embun harus menjalani kemoterapi karena penyakitnya telah akut,” ujar dokter Hendra kepada Mamah-Papah Embun yang kini merasa terpukul. “Tapi hebatnya, Embun berhasil bertahan hingga sekarang. Kami tak menduga obat yang kami berikan dan keceriaan Embun bisa membuatnya melupakan penyakitnya.”
Mamah Embun hanya menangis pilu, sementara Papah Embun mendengarkan dengan cermat perkataan dokter.
“Kalau itu yang terbaik bagi Embun, kami setuju Embun menjalani kemoterapi.”
Tujuh hari berselang. Mahkota Embun yang membuatnya cantik nan jelita kini harus musnah, hilang dengan sekejap. Teman-teman sekolah menjenguknya hari ini. Semakin larut dalam kesedihan, termasuk Tasya yang menyesal memberitahu lomba itu pada Embun.
“Kalian nggak boleh sedih. Embun di sini baik-baik aja kok. Embun pasti sembuh,” hibur Embun pada teman-temannya.
“Tasya jangan nangis. Kalau Tasya nangis, Embun jadi ikut sedih,” lanjutnya pada sahabat yang kini menggenggam jemarinya. Dengan segera, Tasya mengusap air mata yang membasahi mata, mengalir di pipinya bagai sungai menuju muara.
“Tasya, besok kan pengumuman lomba itu, tolong lihatin pengumuman itu ya. Kalau Embun menang, nanti hadiahnya bagi berdua. Kan Tasya yang kasih tahu Embun.”
Tasya hanya mengangguk. Air matanya kini mulai menetes lagi. Dengan jari jemari yang lemas, terinfus Embun menghapuskan air mata yang membahasi pipi sahabat terbaiknya, tersenyum manis.
Tasya tak kuat lagi menahan pilu. Pun teman-teman lain yang tak kuat menahan haru. Bahkan kini Mamah Embun telah keluar dari ruangan. Ia tak ingin anak semata wayangnya melihat air mata itu jatuh.
“Terima kasih, Tasya, kamu sudah jadi teman terbaik Embun. Kalau Embun sudah tiada, jangan lupain Embun ya.”
Dengan mata basah dan suara tersedu-sedu, Tasya menjawab, “Embun nggak boleh ngomong gitu! Embun harus sehat! Embun harus sembuh!”
“Pah, maafin Embun ya kalau Embun nakal.”
Papah Embun hanya mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca.
Keesokan harinya, batu nisan bertuliskan nama Embun telah tertancap di atas tanah. Sang Dalang kehidupan telah memanggilnya, meninggalkan puisi “Embun Pagi”.
***