Menjadi Technopreneur, Mengapa Tidak


bisnis teknologi


Bicara soal bisnis, pasti tak aing dengan istilah Technopreneurship. Sebenarnya apa sih Technopreneurship itu? Technopreneurship adalah suatu istilah gabungan antara technology dan entrepreneurship, yang berarti teknologi dan kewirausahaan. Ya, istilah kasarnya adalah suatu usaha bisnis yang dibalut dengan sistem teknologi. 

Sebenarnya sudah banyak bermunculan para Technopreneur (sebutan untuk orang yang menciptakan dan mengembangkan Technopreneurship) saat ini. Misalnya saja facebook, twitter, Microsoft, google, dan lain sebagainya. Di Indonesia pun ada juga KasKus yang diciptakan dan dikembangkan oleh Andrew Darwis, yang kini menjadi forum terbesar di Indonesia, maupun GoJek yang diciptakan Nadiem Makarim yang berhasil berkembang pesat dalam beberapa bulan terakhir.

Tapi, Technopreneurship nggak melulu berkutat dengan menciptakan website dan aplikasi dengan sebuah hosting. Meski sebagian besarnya seperti itu, katakanlah GrabTaxi, Tokopedia, Traveloka, dan lain sebagainya, tapi pada intinya Technopreneurship adalah kegiatan mengubah usaha tradisional menjadi lebih modern dengan berbasis teknologi. Misalnya saja yang dulunya marketing yang dilakukan secara door-to-door, kini dilakukan dengan sistem online via situs jual beli. Yang dulu nembak gebetan harus langsung tatap muka, kini bisa lewat situs jejaring sosial maupun aplikasi chatting.

Banyak manfaat yang diperoleh seseorang Technopreneur. Baik manfaat yang dia dapatkan secara, maupun untuk orang lain. Pada dasarnya Technopreneurship adalah membuka lapangan kerja baru. Maka dari itu, Technopreneurship dapat mengurangi pengangguran-pengangguran karena lapangan pekerjaan bertambah. Juga mengurangi populasi jomblo ngenes karena media nembak gebetan bertambah. 

Technopreneurship juga membuat si pencipta dan pengembang lebih bebas bekerja karena di sana mereka menjadi bos atau CEO dalam bisnisnya. Keren, bukan? Kapan lagi kerja langsung jadi CEO tanpa jadi staff. Selain itu juga menyiapkan diri untuk menghadapi perdagangan bebas dunia. Apalagi tinggal hitungan bulan, Indonesia telah masuk ke dalam MEA.

Namun, cita-cita menjadi Technopreneur sangat minoritas di Indonesia. Mayoritas akan lebih bangga bekerja di bawah suatu instansi maupun BUMN atau BUMS. Sejak kecil, anak-anak sudah didekte untuk bercita-cita menjadi dokter, polisi, atau apalah. Tapi hampir tidak ada yang menjawab ingin jadi pengusaha, apalagi Technopreneur.

Bahkan saat ketemu sama temen lama, yang ditanya setelah tanya kabar, pasti yang ditanya adalah; Sekarang, kerja di mana? Bukan Sekarang udah nyiptain lapangan pekerjaan apa? Sepele sih, tapi maknanya berbeda jauh. Yang satu cuma ikut kerja jadi “kuli” dan yang lain mngusahakan orang lain dapat pekerjaan.

Dan anehnya dengan bangga akan dijawab, “Oh, sekarang gue udah kerja di perusahaan tambang dan minyak terbesar di dunia.” Jawabnya pun dengan penuh kesombongan hingga koar-koar. Berbeda jika menjawab, “Oh gini jadi gue lagi ngembangin bisnis yang berbasis teknologi, semacam startup.” Jawabnya akan merasa lemas. Dan terbukti kalau menjadi Technopreneur memang jauh dari minat mayoritas.

Apalagi saat kenalan sama calon mertua. Beliau akan lebih senang jika pertanyaan tentang pekerjaan dijawab, “Oh, ini saya kerja di Chevron, perusahaan pertambangan minyak terbesar. Gaji saya sebulan cukup untuk makan di restoran mewah tiap akhir pekan. Kadang saya juga dapat tiket jalan-jalan ke luar negeri—” Daripada pertanyaan itu dijawab, “Oh, ini saya sedang mengembangkan bisnis online saya. Ya, saya sedang mencoba mengembangkan startup. Tapi maaf saya nggak ada yang ngegaji (ya iyalah nggak ada yang ngegaji, kan dia bosnya, alias yang ngasih gaji).”

Maka tak heran, kini, perusahaan khususnya dibidang IT yang menetap di gedung-gedung pencakar langit Indonesia, didominasi oleh orang asing sebagai CEO, sementara orang Indonesia hanya sebagai pekerja. “Yang penting aku dapat pekerjaan dan digaji cukup. Nggak peduli mau kerja di perusahan siapa.” Kurang lebih seperti itulah pemikiran pekerja Indonesia sekarang.

Paradigma seperti itulah yang mestinya dihilangkan. Technopreneur sebenarnya adalah orang-orang calon sukses di masa depan. Bahkan sudah banyak sharing pengalaman mengenai Technopreneur yang telah sukses di saat yang masih belia, katakanlah di bawah 25 tahun, hanya dengan bermodal akun media sosial dan aplikasi chatting. Tak tanggung-tanggung omset yang dihasilkan hingga ratusan juta perbulan. Mengejutkan, bukan?

Menjadi Technopreneur pun tidak memerlukan modal yang besar. Dengan modal seadanya pun, atau katakanlah modal nol rupiah, seorang Technopreneur juga dapat mulai merintis karir. Misalnya dengan menjualkan produk orang lain dengan sistem dropshiping atau reselling melalui sosial media, maupun aplikasi lain.

Meski tak memerlukan modal dalam hal materi, justru Technopreneur sebenarnya membutuhkan modal yang sangat besar. Modal itu adalah keberanian, niat yang kuat, dan kesungguhan. Bukan sekadar ingin coba-coba yang berujung dengan kalimat, “Ah, kayaknya kalau aku bisnis ini, nggak bakal laku. Ganti yang lain ajalah.” Dan kemudian bisnis itu gagal terwujud. Kalah sebelum berperang. Jika masih berpikir seperti ini, modal keberanian, niat yang kuat, dan kesungguhan belum sepenuhnya ada dalam diri. Padahal itulah kunci terbesar untuk menjadi seorang Technopreneur.

Meminjam sebuah kalimat dari alm. Bob Sadino. Beliau berkata, “Ketika saya ditanya bisnis apa yang paling bagus? Maka jawabannya adalah bisnis yang dijalankan, bukan sekadar diomongkan.

Ayo menjadi Technopreneur muda. Buat lapangan pekerjaan sendiri. Buat Indonesia bangga dengan bisnismu.

UKM TDC ITS, Technopreneurship, kewirausahaan



Surabaya, 06 Oktober 2015

Ahsanul Marom
5215100031

"Bocoran" Kunci Jawaban Ujian Nasional SMA/MA/SMK Semua Paket 2014/2015

Bentar lagi kan mau ujian nih, pasti pada degdeg'an ya,, pasti pada siap-siap, sama kayak saya, hehe..., tapi tadi nggak sengaja nemuin ini nih, seperti yang dijudul, ya kunci jawaban untuk semua jurusan, mata pelajaran, dan semua paket soal, langsung saja ini kunci jawabannya, silahkan di share ke teman-teman anda,

Cinta dalam Diam 1: Perpisahan

Cinta dalam Diam
“Udah, lu mau nunggu apa lagi?! Cepetan, samperin dia,” bujuk Dika sambil terus mendorongku. Aku masih mematung sembari terus menatap gadis berkacamata dan berkulit putih dengan rambut terurai yang sedang membaca sebuah buku di taman sekolah. Aduhai, cantik memang.
“Sampai kapan lu mau begini? Lu mau terus-terusan nyembunyiin perasaan lu sama Chaca, hah?!” lanjut Dika. “Cepetan lu samperin dia. Ajak dia kenalan. Ajak dia ngobrol.”
“Tapi aku harus ngapain, Dik? Emang Chaca mau kenalan sama aku yang…”
“Oke, gue tahu lu agak culun. Tapi nggak ada salahnya buat nyoba kan?”
Aku menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya. Kuanggukkan kepala pada Dika. Dia mengacungkan jempol. Aku pun melangkah mendekatinya. Jantungku berdetak semakin tak karuan. Ibarat genderang yang terus dipukul hingga robek.
Kini aku sudah berada di dekatnya. Kuhembuskan nafas panjang sambil membenarnkan posisi kacamataku yang katanya mirip spion motor kuno.
“Hai, Chaca.” Aku melambaikan tangan. Chaca hanya memandangku dengan tatapan aneh. Lagi, detak jantungku semakin tak terkendali.
Sorry, numpang lewat, Ca.” Akhirnya kalimat itu yang keluar, mengantarkan langkahku menjauhinya.
“Gimana? Lu bialang apa sama dia? Respon dia gimana?” tanya Dika penuh selidik.
Aku menggeleng. “Aku nggak bisa, Dik.”
“Aduh, keluarin keberanian lu. Sampai kapan lu nyimpen perasaan lu, Za. Lu mau terus-terusan cinta diam-diam?”
Sudah lama aku menyimpan perasaan itu pada Chaca, si anak baru. Perasaan pada pandangan pertama. Tapi entah mengapa, setiap kali aku dekat dengannya, aku tak bisa mengeluarkan banyak kata. Aku hanya bisa memandangnya dan terus memandangnya. Sengaja aku selalu duduk di dekat jendela agar aku bisa melirik dia yang tengah belajar di kelas seberang. Meski tak jarang, guru menghukumku.
Aku juga hanya bisa terus mengikutinya saat jam istirahat, tanpa mendekat, apalagi bercakap. Padahal sudah dua bulan ini aku berlatih di depan cermin untuk sekadar berkata, “Hai, Cha. Boleh kenalan nggak? Namaku Reza, anak XI-IPA 4.” Aku terus berlatih hingga kakakku mengira aku sudah gila. Ya, aku memang gila. Gila karena perasaan ini.
Apa benar ini namanya jatuh cinta diam-diam?
Kata Dika, orang yang jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir.[1] Aku emang tahu banyak tentang Chaca. Aku tahu nama lengkapnya Aulia Chantika Putri. Aku juga tahu alamat rumahnya, nomor teleponnya, tanggal lahirnya, warna kesukaannya, jam pulangnya, bahkan sampai hal yang nggak penting kayak nomor sepatunya. Sengaja kukumpulkan semua informasi itu agar aku bisa berkenalan dengannya. Tapi semuanya nihil.
Hampir semua orang yang jatuh cinta diam-diam pernah menelepon orang yang mereka taksir dan langsung menutup teleponnya kembali. [2] Aku pun melakukan hal yang sama. Setiap akhir pekan selama sebulan terakhir ini, aku selalu meneloponnya. Saat telepon itu terjawab, aku langsung menutupnya kembali.
“Lu kenapa langsung nutup teleponnya, Za?” tanya Dika yang kebetulan menginap akhir pekan ini.
“Aku bingung mau ngapain, Dik.”
“Ya, lu ngomong dong,” jawab enteng Dika. “Lu udah latihan berkali-kali kan?”
Aku mengangguk. “Tapi, aku nggak bisa ngomong itu, Dik.”
Setelah itu, pasti aku hanya termenung menatap layar HP yang kosong dengan penuh sesal.
Hari demi hari berganti, yang bisa aku lakukan hanya memenuhi buku-buku catatanku dengan huruf R-C. Ya, Reza-Chaca. Aku membayangkan seandainya saja aku bisa berkenalan dengannya. Lantas apa yang terjadi? Aku hanya bisa tersenyum melihat inisial yang memenuhi setiap buku catatanku.
Akhirnya, dengan ketidaksengajaan hal itu bisa terjadi. Chaca melihat saat aku membuntutuinya.
“Hei, kamu Reza anak XI-IPA 4 itu kan?” tanya dia, berbalik arah. Darimana dia tahu namaku? Aku kira tak ada yang mengenalku di sekolah ini. Maklumlah, aku terkenal sebagai anak yang tidak terkenal.
Hatiku seketika berbunga. “Iya, Ca.”
“Kamu kenapa ngikutin aku terus?”
Matilah aku! Dia tahu. “Nggak, Ca. Kebetulan aja waktu aku mau ke kantin, eh kamu ada di depanku.”
“Oh…,” jawabnya. “Kenapa nggak nyapa-nyapa gitu kek? Kan tiap hari ketemu.”
Aduhai, ternyata dia orang yang ramah. Dia nggak marah sama sekali saat aku mengikutinya tiap hari. Malah dia ngajak jalan bareng waktu itu. Seketika aku berasa kayak terbang menuju awan dan main prosotan di pelangi.
Sampai di rumah, aku bercerita pada Dika. Reflek kupeluk dia karena rasa bahagiaku. Dan sukses aku dicap sebagai homo yang aneh oleh kakakku.
Sejak saat itu, aku dan Chaca sering ngobrol bareng saat di kantin. Dan ternyata dia penggemar film barat. Aku hanya bisa tersenyum sambil mengiyakan apapun yang dia katakan. Ya, aku sama sekali tak mengerti film barat.
“Udah akrab, kini saatnya lu nembak dia.” Dika memberi masukan.
“Hah? Nembak?”
“Iya, lu masih nyimpen perasaan cinta lu pada dia kan?”
Aku mengangguk. Iya Dik, aku masih nyimpen semua itu, tapi mana mungkin aku mengungkapkannya? Berkenalan saja secara tak sengaja.
Aku pun terus memikirkan perasaan itu. Dan pada dua bulan ini, aku berlatih di depan cermin bilang “Ca, sudah lama aku suka sama kamu. Mau nggak jadi pacar aku?” Tapi lagi-lagi aku tak bisa.
Pernah aku mencoba akan menembak dia dengan hadiah coklat. Tapi, apadaya, aku tak sanggup. Hasilnya, hanya coklat yang kuserahkan.
Beberapa bulan berselang. Kabar itu datang.
“Jadi kamu beneran mau pindah?” tanyaku saat makan siang di kantin bersamanya.
Dia mengangguk. “Ya, mau gimana lagi. Papah aku selalu pindah tugas. Setiap kali aku punya teman akrab, pasti begini. Harus pindah.”
Hening sejenak. Aku berpikir, inikah saatnya aku menyatakan perasaanku?
Aku mulai membuka mulut, “Em, Ca,…”
“Iya?”
“Kapan kamu pindah?” Aduh, mangapa kalimat itu yang keluar?!
“Besok pagi aku harus berangkat,” jawabnya pelan.
“Jadi…”
“Ya, ini adalah hari terakhir aku bersekolah di sini,” sahutnya.
Pulang sekolah, aku segera menceritakannya pada Dika. “Nanti malam kamu harus ke rumahnya. Beri dia hadiah yang spesial,” saran Dika.
Aku menuruti saran Dika. Malam harinya aku pergi kerumahnya, membawa sesuatu untuknya.
“Eh, kamu Za, ada apa?” tanyanya setelah membuka pintu.
Aku menyodorkan sebuah boneka penyu padanya. “Terimalah, Ca. Buat kenang-kenangan dari aku.”
“Wah, makasih, Za. Kamu memang sahabat terbaik aku. Meski kita baru beberapa bulan kenal. Tapi kau sudah jadi sahabat terbaik aku di sini.”
Aku hanya tersenyum. Sahabat? Ca, sebenarnya aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat. Tapi, berkenalan dengan gadis secantik dan seramah dirimu dalam waktu singkat ini kurasa sudah cukup.
Hei, mengapa aku memberinya sebuah boneka penyu? Kalian tahu, penyu adalah binatang paling setia di dunia. [3] Seekor telur penyu akan akan menetas dalam gundukan pasir. Kemudian anak penyu itu merangkak menuju laut bebas. Sejak kecil sudah ditanamkan perasaan setia itu. Mengenali aroma lingkungan tempatnya dilahirkan. Mengenali udara, suhu, matahari, angin yang berhembus, setiap jengkal muasal mereka. [4] Aku ingin Chaca selalu ingat padaku dan kembali lagi menjadi sahabat di sini. Ya, sahabat. Meski terkadang aku menyesal, mengapa tak lebih dari itu.
Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanya merelakan. [5]
Jangan lupakan aku, Ca, sebagai sahabatmu.
***
Footnote:
[1] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 3.
[2] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 7.
[3] Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[4] Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[5] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 15.

Ibu, Aku Pasti Bisa



Teringat aku peristiwa malam itu kala aku duduk sendiri terdiam di meja belajarku. Seperti biasa, aku bersiap mengerjakan tugas sekolah yang melimpah ruah. Aduh, tugas yang merepotkan saja. Tapi, aku mencoba berpikir positif. Tak apalah namanya juga pelajar, terlebih tingkat SMA.
Kali ini buku tulis agama telah ku buka. Al-Quran terjemahan berukuran 15x20cm telah ditangan. Saatnya mengerjakan tugas untuk menulis kembali surat-surat pendek, sekaligus menghafal.
Kubuka perlahan Al-Quran itu. Seketika aku terhenti di beberapa lembar pertama. Dahiku mengerut. Pandanganku tertuju pada arti sebuah ayat.
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Q.S. Ali Imran: 96)
Pikiranku sukses teralihkan oleh ayat itu. Aku teringat cita-citaku yang telah lama ingin sekali ku lakukan, hingga aku tak bisa tidur malam itu. Ya Allah, kapan itu bisa jadi?
Ingin sekali aku meneteskan air mata. Ingin sekali cita-cita itu segara datang menghampiriku. Ya Allah, kapan aku bisa memberangkatkan ibuku ke Baitullah?
Aku pun terus berusaha untuk mencapai cita-cita itu. Setiap hari kusisihkan uang sakuku untuk ibu. Bahkan tak jarang aku harus berpuasa jajan untuk mempercepat menggapai cita-cita ini.
Ibu, semua ini kulakukan untukmu.
Kini, 1 tahun berlalu, ku buka tabunganku. Ternyata, masih jauh dari harapan. Namun, aku akan selalu menyisihkan uang sakuku, demi menggapai cita-citaku, memberangkatkan ibu ke Baitullah. Meski aku tahu aku hanya seorang siswa SMA yang belum berpenghasilan, namun aku percaya Man Jadda Wa Jadda, barangsiapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh, niscaya ada jalan menuju kesuksesan.
Ibu, aku akan memberangkatkanmu ke Baitullah esok! Aamiin....