Cinta dalam Diam 1: Perpisahan

Cinta dalam Diam
“Udah, lu mau nunggu apa lagi?! Cepetan, samperin dia,” bujuk Dika sambil terus mendorongku. Aku masih mematung sembari terus menatap gadis berkacamata dan berkulit putih dengan rambut terurai yang sedang membaca sebuah buku di taman sekolah. Aduhai, cantik memang.
“Sampai kapan lu mau begini? Lu mau terus-terusan nyembunyiin perasaan lu sama Chaca, hah?!” lanjut Dika. “Cepetan lu samperin dia. Ajak dia kenalan. Ajak dia ngobrol.”
“Tapi aku harus ngapain, Dik? Emang Chaca mau kenalan sama aku yang…”
“Oke, gue tahu lu agak culun. Tapi nggak ada salahnya buat nyoba kan?”
Aku menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya. Kuanggukkan kepala pada Dika. Dia mengacungkan jempol. Aku pun melangkah mendekatinya. Jantungku berdetak semakin tak karuan. Ibarat genderang yang terus dipukul hingga robek.
Kini aku sudah berada di dekatnya. Kuhembuskan nafas panjang sambil membenarnkan posisi kacamataku yang katanya mirip spion motor kuno.
“Hai, Chaca.” Aku melambaikan tangan. Chaca hanya memandangku dengan tatapan aneh. Lagi, detak jantungku semakin tak terkendali.
Sorry, numpang lewat, Ca.” Akhirnya kalimat itu yang keluar, mengantarkan langkahku menjauhinya.
“Gimana? Lu bialang apa sama dia? Respon dia gimana?” tanya Dika penuh selidik.
Aku menggeleng. “Aku nggak bisa, Dik.”
“Aduh, keluarin keberanian lu. Sampai kapan lu nyimpen perasaan lu, Za. Lu mau terus-terusan cinta diam-diam?”
Sudah lama aku menyimpan perasaan itu pada Chaca, si anak baru. Perasaan pada pandangan pertama. Tapi entah mengapa, setiap kali aku dekat dengannya, aku tak bisa mengeluarkan banyak kata. Aku hanya bisa memandangnya dan terus memandangnya. Sengaja aku selalu duduk di dekat jendela agar aku bisa melirik dia yang tengah belajar di kelas seberang. Meski tak jarang, guru menghukumku.
Aku juga hanya bisa terus mengikutinya saat jam istirahat, tanpa mendekat, apalagi bercakap. Padahal sudah dua bulan ini aku berlatih di depan cermin untuk sekadar berkata, “Hai, Cha. Boleh kenalan nggak? Namaku Reza, anak XI-IPA 4.” Aku terus berlatih hingga kakakku mengira aku sudah gila. Ya, aku memang gila. Gila karena perasaan ini.
Apa benar ini namanya jatuh cinta diam-diam?
Kata Dika, orang yang jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir.[1] Aku emang tahu banyak tentang Chaca. Aku tahu nama lengkapnya Aulia Chantika Putri. Aku juga tahu alamat rumahnya, nomor teleponnya, tanggal lahirnya, warna kesukaannya, jam pulangnya, bahkan sampai hal yang nggak penting kayak nomor sepatunya. Sengaja kukumpulkan semua informasi itu agar aku bisa berkenalan dengannya. Tapi semuanya nihil.
Hampir semua orang yang jatuh cinta diam-diam pernah menelepon orang yang mereka taksir dan langsung menutup teleponnya kembali. [2] Aku pun melakukan hal yang sama. Setiap akhir pekan selama sebulan terakhir ini, aku selalu meneloponnya. Saat telepon itu terjawab, aku langsung menutupnya kembali.
“Lu kenapa langsung nutup teleponnya, Za?” tanya Dika yang kebetulan menginap akhir pekan ini.
“Aku bingung mau ngapain, Dik.”
“Ya, lu ngomong dong,” jawab enteng Dika. “Lu udah latihan berkali-kali kan?”
Aku mengangguk. “Tapi, aku nggak bisa ngomong itu, Dik.”
Setelah itu, pasti aku hanya termenung menatap layar HP yang kosong dengan penuh sesal.
Hari demi hari berganti, yang bisa aku lakukan hanya memenuhi buku-buku catatanku dengan huruf R-C. Ya, Reza-Chaca. Aku membayangkan seandainya saja aku bisa berkenalan dengannya. Lantas apa yang terjadi? Aku hanya bisa tersenyum melihat inisial yang memenuhi setiap buku catatanku.
Akhirnya, dengan ketidaksengajaan hal itu bisa terjadi. Chaca melihat saat aku membuntutuinya.
“Hei, kamu Reza anak XI-IPA 4 itu kan?” tanya dia, berbalik arah. Darimana dia tahu namaku? Aku kira tak ada yang mengenalku di sekolah ini. Maklumlah, aku terkenal sebagai anak yang tidak terkenal.
Hatiku seketika berbunga. “Iya, Ca.”
“Kamu kenapa ngikutin aku terus?”
Matilah aku! Dia tahu. “Nggak, Ca. Kebetulan aja waktu aku mau ke kantin, eh kamu ada di depanku.”
“Oh…,” jawabnya. “Kenapa nggak nyapa-nyapa gitu kek? Kan tiap hari ketemu.”
Aduhai, ternyata dia orang yang ramah. Dia nggak marah sama sekali saat aku mengikutinya tiap hari. Malah dia ngajak jalan bareng waktu itu. Seketika aku berasa kayak terbang menuju awan dan main prosotan di pelangi.
Sampai di rumah, aku bercerita pada Dika. Reflek kupeluk dia karena rasa bahagiaku. Dan sukses aku dicap sebagai homo yang aneh oleh kakakku.
Sejak saat itu, aku dan Chaca sering ngobrol bareng saat di kantin. Dan ternyata dia penggemar film barat. Aku hanya bisa tersenyum sambil mengiyakan apapun yang dia katakan. Ya, aku sama sekali tak mengerti film barat.
“Udah akrab, kini saatnya lu nembak dia.” Dika memberi masukan.
“Hah? Nembak?”
“Iya, lu masih nyimpen perasaan cinta lu pada dia kan?”
Aku mengangguk. Iya Dik, aku masih nyimpen semua itu, tapi mana mungkin aku mengungkapkannya? Berkenalan saja secara tak sengaja.
Aku pun terus memikirkan perasaan itu. Dan pada dua bulan ini, aku berlatih di depan cermin bilang “Ca, sudah lama aku suka sama kamu. Mau nggak jadi pacar aku?” Tapi lagi-lagi aku tak bisa.
Pernah aku mencoba akan menembak dia dengan hadiah coklat. Tapi, apadaya, aku tak sanggup. Hasilnya, hanya coklat yang kuserahkan.
Beberapa bulan berselang. Kabar itu datang.
“Jadi kamu beneran mau pindah?” tanyaku saat makan siang di kantin bersamanya.
Dia mengangguk. “Ya, mau gimana lagi. Papah aku selalu pindah tugas. Setiap kali aku punya teman akrab, pasti begini. Harus pindah.”
Hening sejenak. Aku berpikir, inikah saatnya aku menyatakan perasaanku?
Aku mulai membuka mulut, “Em, Ca,…”
“Iya?”
“Kapan kamu pindah?” Aduh, mangapa kalimat itu yang keluar?!
“Besok pagi aku harus berangkat,” jawabnya pelan.
“Jadi…”
“Ya, ini adalah hari terakhir aku bersekolah di sini,” sahutnya.
Pulang sekolah, aku segera menceritakannya pada Dika. “Nanti malam kamu harus ke rumahnya. Beri dia hadiah yang spesial,” saran Dika.
Aku menuruti saran Dika. Malam harinya aku pergi kerumahnya, membawa sesuatu untuknya.
“Eh, kamu Za, ada apa?” tanyanya setelah membuka pintu.
Aku menyodorkan sebuah boneka penyu padanya. “Terimalah, Ca. Buat kenang-kenangan dari aku.”
“Wah, makasih, Za. Kamu memang sahabat terbaik aku. Meski kita baru beberapa bulan kenal. Tapi kau sudah jadi sahabat terbaik aku di sini.”
Aku hanya tersenyum. Sahabat? Ca, sebenarnya aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat. Tapi, berkenalan dengan gadis secantik dan seramah dirimu dalam waktu singkat ini kurasa sudah cukup.
Hei, mengapa aku memberinya sebuah boneka penyu? Kalian tahu, penyu adalah binatang paling setia di dunia. [3] Seekor telur penyu akan akan menetas dalam gundukan pasir. Kemudian anak penyu itu merangkak menuju laut bebas. Sejak kecil sudah ditanamkan perasaan setia itu. Mengenali aroma lingkungan tempatnya dilahirkan. Mengenali udara, suhu, matahari, angin yang berhembus, setiap jengkal muasal mereka. [4] Aku ingin Chaca selalu ingat padaku dan kembali lagi menjadi sahabat di sini. Ya, sahabat. Meski terkadang aku menyesal, mengapa tak lebih dari itu.
Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanya merelakan. [5]
Jangan lupakan aku, Ca, sebagai sahabatmu.
***
Footnote:
[1] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 3.
[2] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 7.
[3] Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[4] Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[5] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 15.