…
Hidup
ini penuh dengan keheningan
Hidup
ini hampa, sunyi, senyap, kosong
Hidup
ini bagaikan setetes embun yang mengalir di dedaunan
Menetes
perlahan, membasahi taman
Kian
hilang, saat siang menjelang
Musnah,
hilang seketika
…
Air mata merembah di tanah lapang
pagi ini. Semua larut dalam kesedihan yang mendalam. Satu-dua tampak
meneteskannya di pundak lainnya, membasahi kain hitam yang terampai.
Hening.
Andai
aku tak beritahu dia tentang itu, pasti tak begini jadinya! batin
seorang yang tak kuat menahan deru air mata yang kian berlinang, bergejolak
dalam relung, jatuh tersungkur di atas tanah.
Tiga puluh menit berlalu.
Satu-per-satu orang meninggalkan tanah lapang. Kerumunan telah hilang. Kini
tinggal seorang itu yang terus menangis, tak kuat menahan pilu. Menyesal,
memeluk batu nisan. Boleh jadi ia adalah orang pertama yang paling kehilangan.
“Embun! Embun!”
Pekik itu menghentikan gerak Embun
di taman sekolah siang ini. Gerak sendok yang ia genggam pun terhenti. Gadis
berambut lurus sepinggang itu pun mengerutkan dahinya, mencari sumber suara
yang menghentikan makan siangnya.
“Embun, kamu sudah liat papan
pengumuman belum?”
“Ada apa?” Embun mengerutkan
dahinya, penuh tanya.
“Yah…, kok belum sih!” jawab Tasya
kecewa. “Nih kalau belum!”
Dengan sigap, Embun menyambar
selembar kertas yang di berikan Tasya, meletakkan bekal makan siang di
sebelahnya.
“Itu sih kalau kamu ingin ikut aja.
Tapi seandainya kamu ikut, aku yakin pasti kamu menang.”
Embun masih membaca pengumuman
lomba kreasi puisi dengan seksama.
“Lumayan hadiahnya keren lho!”
“Kamu ikut?”
Tanya tersenyum garing, “Kalau aku
sih nanti-nanti dulu.”
Mereka berdua pun menatap satu sama
lain. Saling berpandangan, lantas Embun mengangguk dan tawa pun tak
terhindarkan.
Mentari telah tenggelam sempurna,
meninggalkan indahnya tawa.
Embun masih terus memikirkan ide
untuk lomba yang berakhir esok hari. Sesekali ia tuliskan di note book kecilnya. Sesekali pula
mencoretnya dengan tinta merah. Tak cocok, tidak sesuai dengan tema.
“Embun, makan dulu ya!”
“Nanti, Mah!”
Boleh jadi itu adalah penolakan
yang kesekian dari Embun kala sang Bunda menyuruhnya makan. Alhasil sang Bunda
harus menyuapi gadis putih-biru itu, menyuruhnya minum obat. Bukti rasa sayang
sang Bunda yang akan selalu ada untuk anaknya akan selalu ada, meski zaman
telah terhempas.
Malam semakin larut, Embun masih
berkutat dengan calon puisinya. Menyusun rangkaian kata, memilih diksi,
mengindahkan dengan rasa, semua dilakukannya hingga lupa waktu. Maklum saja mau
tak mau puisi untuk lomba itu harus jadi esok hari. Untunglah besok hari libur.
“Mah, aku pergi dulu ya!”
“Embun mau ke mana?”
“Mau kirim ini, Mah. Buat lomba.”
“Biar mamah aja yang antar, ya?”
“Embun bisa sendiri kok, Mah. Embun
tak mau repotin Mamah.”
“Tapi, kamu tak boleh kecapekan, sayang!”
“Nggak kok, Mah! Embun mau sekalian
sepedaan pagi. Please, Mah!”
“Tapi jangan sampai siang. Kamu
harus minum obat.”
“Siap, Mamah sayang!”
Embun pun tertawa riang,
permintaannya dikabulkan. Sangat jarang kesempatan ini terjadi. Maklum saja
sang Bunda selalu khawatir dengan kesehatan Embun yang semakin lama semakin tak
stabil. Sedikit saja ia merasa kecapekan dan memaksakan, akan semakin parah
jadinya. Pun saat memikirkan hal yang berat, marah, atau hal lain yang menyita
pikirannya.
Lekas Embun mengeluarkan sepedanya
dari garasi. Memakai sweater birunya,
menaruh amplop coklat dalam keranjang sepeda.
“Hati-hati, sayang!”
Embun pun lekas melajukan sepedanya
di jalanan mulus beraspal komplek perumahan mewah itu, menuju kantor pos yang
hanya berbilang dua ratus meter.
Namun, sayang, hari libur, kantor
pos pun libur. Embun kecewa. Sangat kecewa malah. Hampir ia menangis di depan
gerbang kantor pos yang terkunci rapat. Tapi Embun tak kehabisan akal. Lekas ia
melajukan sepeda ke arah alamat yang ia tulis di amplop, berniat mengantarkan
sendiri di kota kabupaten tetangga.
Sebenarnya alamat itu cukup jauh untuk
seorang anak yang mengendarai sepeda. Namun, tekad Embun telah bulat. Aku pasti bisa mengantarkan puisi ini. Aku
harus bisa. Aku harus menang, pikir Embun.
Hari semakin siang, panas mentari
semakin terik. Setengah jalan telah dilalui. Pelan tapi pasti. Sesekali
berhenti, menengguk air yang dibawa. Embun masih berjuang mengirimkan puisinya
itu.
Tepat pukul dua belas siang, Embun
tiba di alamat yang dituju. Diserahkannya surat itu. Hatinya kini berbunga,
melihat suratnya telah diterima. Kini saatnya ia pulang.
Berbeda. Perjalanan pulang kali ini
lebih berat dari berangkat tadi. Lelah, Embun telah merasa lelah. Bekal
minumnya habis. Berat, kayuhan sepeda semakin berat. Matanya sayu, tak terlihat
lagi apa yang ada di hadapannya.
“Pah, sudah sore tapi Embun belum
pulang.”
“Paling juga lagi main sama Tasya,
Mah!”
Kekhawatiran orang tua terhadap
anaknya ini ternyata benar terjadi. Embun dibawa oleh seseorang ke rumah sakit
karena ditemukan pingsan di pinggir jalan dengan darah yang keluar dari
mulutnya. Sepedanya tergeletak di sebelahnya.
“Kali kanker otak yang menyerang
Embun kian parah. Embun harus menjalani kemoterapi karena penyakitnya telah
akut,” ujar dokter Hendra kepada Mamah-Papah Embun yang kini merasa terpukul.
“Tapi hebatnya, Embun berhasil bertahan hingga sekarang. Kami tak menduga obat
yang kami berikan dan keceriaan Embun bisa membuatnya melupakan penyakitnya.”
Mamah Embun hanya menangis pilu,
sementara Papah Embun mendengarkan dengan cermat perkataan dokter.
“Kalau itu yang terbaik bagi Embun,
kami setuju Embun menjalani kemoterapi.”
Tujuh hari berselang. Mahkota Embun
yang membuatnya cantik nan jelita kini harus musnah, hilang dengan sekejap.
Teman-teman sekolah menjenguknya hari ini. Semakin larut dalam kesedihan,
termasuk Tasya yang menyesal memberitahu lomba itu pada Embun.
“Kalian nggak boleh sedih. Embun di
sini baik-baik aja kok. Embun pasti sembuh,” hibur Embun pada teman-temannya.
“Tasya jangan nangis. Kalau Tasya
nangis, Embun jadi ikut sedih,” lanjutnya pada sahabat yang kini menggenggam
jemarinya. Dengan segera, Tasya mengusap air mata yang membasahi mata, mengalir
di pipinya bagai sungai menuju muara.
“Tasya, besok kan pengumuman lomba
itu, tolong lihatin pengumuman itu ya. Kalau Embun menang, nanti hadiahnya bagi
berdua. Kan Tasya yang kasih tahu Embun.”
Tasya hanya mengangguk. Air matanya
kini mulai menetes lagi. Dengan jari jemari yang lemas, terinfus Embun
menghapuskan air mata yang membahasi pipi sahabat terbaiknya, tersenyum manis.
Tasya tak kuat lagi menahan pilu.
Pun teman-teman lain yang tak kuat menahan haru. Bahkan kini Mamah Embun telah
keluar dari ruangan. Ia tak ingin anak semata wayangnya melihat air mata itu
jatuh.
“Terima kasih, Tasya, kamu sudah
jadi teman terbaik Embun. Kalau Embun sudah tiada, jangan lupain Embun ya.”
Dengan mata basah dan suara tersedu-sedu,
Tasya menjawab, “Embun nggak boleh ngomong gitu! Embun harus sehat! Embun harus
sembuh!”
“Pah, maafin Embun ya kalau Embun
nakal.”
Papah Embun hanya mengangguk pelan.
Matanya berkaca-kaca.
Keesokan harinya, batu nisan
bertuliskan nama Embun telah tertancap di atas tanah. Sang Dalang kehidupan telah
memanggilnya, meninggalkan puisi “Embun Pagi”.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))