Cinta dalam Diam
“Udah, lu mau nunggu apa lagi?! Cepetan, samperin dia,” bujuk
Dika sambil terus mendorongku. Aku masih mematung sembari terus menatap gadis
berkacamata dan berkulit putih dengan rambut terurai yang sedang membaca sebuah
buku di taman sekolah. Aduhai, cantik memang.
“Sampai kapan lu mau begini? Lu mau terus-terusan nyembunyiin
perasaan lu sama Chaca, hah?!” lanjut Dika. “Cepetan lu samperin dia. Ajak dia
kenalan. Ajak dia ngobrol.”
“Tapi aku harus ngapain, Dik? Emang Chaca mau kenalan sama
aku yang…”
“Oke, gue tahu lu agak culun. Tapi nggak ada salahnya buat
nyoba kan?”
Aku menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya.
Kuanggukkan kepala pada Dika. Dia mengacungkan jempol. Aku pun melangkah
mendekatinya. Jantungku berdetak semakin tak karuan. Ibarat genderang yang
terus dipukul hingga robek.
Kini aku sudah berada di dekatnya. Kuhembuskan nafas panjang
sambil membenarnkan posisi kacamataku yang katanya mirip spion motor kuno.
“Hai, Chaca.” Aku melambaikan tangan. Chaca hanya memandangku
dengan tatapan aneh. Lagi, detak jantungku semakin tak terkendali.
“Sorry, numpang
lewat, Ca.” Akhirnya kalimat itu yang keluar, mengantarkan langkahku
menjauhinya.
“Gimana? Lu bialang apa sama dia? Respon dia gimana?” tanya
Dika penuh selidik.
Aku menggeleng. “Aku nggak bisa, Dik.”
“Aduh, keluarin keberanian lu. Sampai kapan lu nyimpen
perasaan lu, Za. Lu mau terus-terusan cinta diam-diam?”
Sudah lama aku menyimpan perasaan itu pada Chaca, si anak
baru. Perasaan pada pandangan pertama. Tapi entah mengapa, setiap kali aku
dekat dengannya, aku tak bisa mengeluarkan banyak kata. Aku hanya bisa memandangnya
dan terus memandangnya. Sengaja aku selalu duduk di dekat jendela agar aku bisa
melirik dia yang tengah belajar di kelas seberang. Meski tak jarang, guru
menghukumku.
Aku juga hanya bisa terus mengikutinya saat jam istirahat,
tanpa mendekat, apalagi bercakap. Padahal sudah dua bulan ini aku berlatih di
depan cermin untuk sekadar berkata, “Hai, Cha. Boleh kenalan nggak? Namaku
Reza, anak XI-IPA 4.” Aku terus berlatih hingga kakakku mengira aku sudah gila.
Ya, aku memang gila. Gila karena perasaan ini.
Apa benar ini namanya jatuh cinta diam-diam?
Kata Dika, orang yang
jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir.[1]
Aku emang tahu banyak tentang Chaca. Aku tahu nama lengkapnya Aulia Chantika
Putri. Aku juga tahu alamat rumahnya, nomor teleponnya, tanggal lahirnya, warna
kesukaannya, jam pulangnya, bahkan sampai hal yang nggak penting kayak nomor
sepatunya. Sengaja kukumpulkan semua informasi itu agar aku bisa berkenalan dengannya.
Tapi semuanya nihil.
Hampir semua orang yang jatuh cinta
diam-diam pernah menelepon orang yang mereka taksir dan langsung menutup
teleponnya kembali. [2] Aku pun melakukan hal yang sama. Setiap akhir pekan selama
sebulan terakhir ini, aku selalu meneloponnya. Saat telepon itu terjawab, aku
langsung menutupnya kembali.
“Lu kenapa langsung nutup teleponnya, Za?” tanya Dika yang
kebetulan menginap akhir pekan ini.
“Aku bingung mau ngapain, Dik.”
“Ya, lu ngomong dong,” jawab enteng Dika. “Lu udah latihan
berkali-kali kan?”
Aku mengangguk. “Tapi, aku nggak bisa ngomong itu, Dik.”
Setelah itu, pasti aku hanya termenung menatap layar HP yang
kosong dengan penuh sesal.
Hari demi hari berganti, yang bisa aku lakukan hanya memenuhi
buku-buku catatanku dengan huruf R-C. Ya, Reza-Chaca. Aku membayangkan
seandainya saja aku bisa berkenalan dengannya. Lantas apa yang terjadi? Aku
hanya bisa tersenyum melihat inisial yang memenuhi setiap buku catatanku.
Akhirnya, dengan ketidaksengajaan hal itu bisa terjadi. Chaca
melihat saat aku membuntutuinya.
“Hei, kamu Reza anak XI-IPA 4 itu kan?” tanya dia, berbalik
arah. Darimana dia tahu namaku? Aku kira tak ada yang mengenalku di sekolah
ini. Maklumlah, aku terkenal sebagai anak yang tidak terkenal.
Hatiku seketika berbunga. “Iya, Ca.”
“Kamu kenapa ngikutin aku terus?”
Matilah aku! Dia tahu. “Nggak, Ca. Kebetulan aja waktu aku
mau ke kantin, eh kamu ada di depanku.”
“Oh…,” jawabnya. “Kenapa nggak nyapa-nyapa gitu kek? Kan tiap
hari ketemu.”
Aduhai, ternyata dia orang yang ramah. Dia nggak marah sama
sekali saat aku mengikutinya tiap hari. Malah dia ngajak jalan bareng waktu
itu. Seketika aku berasa kayak terbang menuju awan dan main prosotan di pelangi.
Sampai di rumah, aku bercerita pada Dika. Reflek kupeluk dia
karena rasa bahagiaku. Dan sukses aku dicap sebagai homo yang aneh oleh
kakakku.
Sejak saat itu, aku dan Chaca sering ngobrol bareng saat di
kantin. Dan ternyata dia penggemar film barat. Aku hanya bisa tersenyum sambil
mengiyakan apapun yang dia katakan. Ya, aku sama sekali tak mengerti film
barat.
“Udah akrab, kini saatnya lu nembak dia.” Dika memberi
masukan.
“Hah? Nembak?”
“Iya, lu masih nyimpen perasaan cinta lu pada dia kan?”
Aku mengangguk. Iya Dik, aku masih nyimpen semua itu, tapi
mana mungkin aku mengungkapkannya? Berkenalan saja secara tak sengaja.
Aku pun terus memikirkan perasaan itu. Dan pada dua bulan
ini, aku berlatih di depan cermin bilang “Ca, sudah lama aku suka sama kamu.
Mau nggak jadi pacar aku?” Tapi lagi-lagi aku tak bisa.
Pernah aku mencoba akan menembak dia dengan hadiah coklat.
Tapi, apadaya, aku tak sanggup. Hasilnya, hanya coklat yang kuserahkan.
Beberapa bulan berselang. Kabar itu datang.
“Jadi kamu beneran mau pindah?” tanyaku saat makan siang di
kantin bersamanya.
Dia mengangguk. “Ya, mau gimana lagi. Papah aku selalu pindah
tugas. Setiap kali aku punya teman akrab, pasti begini. Harus pindah.”
Hening sejenak. Aku berpikir, inikah saatnya aku menyatakan
perasaanku?
Aku mulai membuka mulut, “Em, Ca,…”
“Iya?”
“Kapan kamu pindah?” Aduh, mangapa kalimat itu yang keluar?!
“Besok pagi aku harus berangkat,” jawabnya pelan.
“Jadi…”
“Ya, ini adalah hari terakhir aku bersekolah di sini,”
sahutnya.
Pulang sekolah, aku segera menceritakannya pada Dika. “Nanti
malam kamu harus ke rumahnya. Beri dia hadiah yang spesial,” saran Dika.
Aku menuruti saran Dika. Malam harinya aku pergi kerumahnya,
membawa sesuatu untuknya.
“Eh, kamu Za, ada apa?” tanyanya setelah membuka pintu.
Aku menyodorkan sebuah boneka penyu padanya. “Terimalah, Ca.
Buat kenang-kenangan dari aku.”
“Wah, makasih, Za. Kamu memang sahabat terbaik aku. Meski
kita baru beberapa bulan kenal. Tapi kau sudah jadi sahabat terbaik aku di
sini.”
Aku hanya tersenyum. Sahabat? Ca, sebenarnya aku ingin kita
lebih dari sekadar sahabat. Tapi, berkenalan dengan gadis secantik dan seramah
dirimu dalam waktu singkat ini kurasa sudah cukup.
Hei, mengapa aku memberinya sebuah boneka penyu? Kalian tahu, penyu adalah binatang paling
setia di dunia. [3] Seekor telur penyu akan akan menetas dalam
gundukan pasir. Kemudian anak penyu itu merangkak menuju laut bebas. Sejak kecil sudah ditanamkan perasaan setia
itu. Mengenali aroma lingkungan tempatnya dilahirkan. Mengenali udara, suhu,
matahari, angin yang berhembus, setiap jengkal muasal mereka. [4]
Aku ingin Chaca selalu ingat padaku dan kembali lagi menjadi sahabat di sini.
Ya, sahabat. Meski terkadang aku menyesal, mengapa tak lebih dari itu.
Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta
diam-diam hanya bisa mendoakan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang
tidak sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanya
merelakan. [5]
Jangan lupakan aku, Ca, sebagai sahabatmu.
***
Footnote:
[1] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune,
Jakarta, 2014 hlm. 3.
[2] Raditya Dika, Marmut Merah Jambu, Bukune,
Jakarta, 2014 hlm. 7.
[3] Tere Liye, Sunset
Bersama Rosie, Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[4] Tere Liye, Sunset Bersama Rosie,
Mahaka Publisher, Jakarta, 2011.
[5] Raditya Dika, Marmut
Merah Jambu, Bukune, Jakarta, 2014 hlm. 15.
0 komentar:
Posting Komentar
Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))