Halo gaes, balik lagi bareng gue, si sandaljepit, kali ini mumpung ini malam jumat (pas nulis ini malam jumat, gaes), jadi yuk saatnya buat Sunnah Aksi Malam Jumat, ehehe.... Jadi, di Aksi Malam Jumat ini gue bakal nyoba buat share cerita mistis dan horor.
Di Aksi Malam Jumat #1 ini gue bakalan share salah satu karya yang mungkin bergenre horor, yang sebenarnya udah lama banget gue bikin. Entah udah nginep berapa tahun di laptop, daripada nggak kebaca, mending gue share aja. Oke, langsung aja ya ini ceritanya,
FYI, setting lokasi di cerita ini nyata gaes, berdasarkan kisah gue dan beberapa orang yang pernah guestalking. Beberapa nama juga ada yang asli, sorry my friend kalo namanya gue catut, ehehe. Tapi ada beberapa bagian yang sengaja gue fiksi-in, biar lebih terasa aja. Dinikmati aja ya gaes :)))
Gambar diambil dari Google, hanya ilustrasi |
Di Aksi Malam Jumat #1 ini gue bakalan share salah satu karya yang mungkin bergenre horor, yang sebenarnya udah lama banget gue bikin. Entah udah nginep berapa tahun di laptop, daripada nggak kebaca, mending gue share aja. Oke, langsung aja ya ini ceritanya,
FYI, setting lokasi di cerita ini nyata gaes, berdasarkan kisah gue dan beberapa orang yang pernah gue
* * *
Penunggu
Lantai Dua
“Adik-adik,
kalian yang berkumpul di sini adalah orang terpilih sebagai penerus kami dalam
organisasi Paskibra. Organisasi ini bukan hanya sekadar organisasi pelengkap di
SMA kita tercinta. Kita di sini adalah organisasi yang harus bisa mencerminkan
sikap sesuai Pancasila. Putar roda persatuan dan kesatuan dengan menjalankan
setiap norma dengan sebaik-baiknya. Kalian mengerti?!”
“Siap,
mengerti,” jawab tegas pasukan, membelah keheningan lapangan Sabtu sore ini.
Seakan telah siap melanjutkan perjuangan.
“Tapi,
perjuangan kalian belum usai. Satu perjuangan lagi, jalan malam. Puncak dari
jalan malam ini adalah pencarian badge
yang akan kalian kenakan. Jalan malam ini rencananya akan diadakan pekan depan.
Jelas?!” tegas kak Roy sembari berkeliling diantara pasukan.
“Siap.
Jelas!” jawab kompak pasukan.
Aku
dan temanku berbaris dengan rapi, layaknya tentara yang siap untuk perang. Tak
ada gerakan sedikitpun yang tersampaikan. Semua diam dan memperhatikan setiap
kata yang terucap dari mulut sang komandan. Sesekali menjawab dengan penuh
ketegasan. Singkat. Jika tak perlu diam. Itu lebih baik daripada menyanggah
ucapan Kak Roy. Bisa jadi perjuangan kami berakhir dengan sia-sia. Tes tertulis
tentang sekolah dan negara ini, tes fisik yang menguras satu-dua ember penuh
keringat, tes wawancara dengan tatapan mata kakak-kakak yang kejam, hingga menahan
malu saat kami diberikan tantangan saat mengumpulkan tanda tangan. Ah, aku tak
mau itu terbuang sia-sia hanya karena kami berbincang sendiri dan tak acuh atas
komando kak Roy. Tak peduli keringat mulai bercucuran di dahi dan pipi.
Ini
adalah tiga hari yang lalu, di mana seluruh dari kami dikumpulkan di lapangan.
Kini, aku dan seluruh temanku menjalani hari-hari biasa. Belajar di kelas
seperti biasa. Riuh saat jam kosong. Ah, semua sudah biasa. Kebetulan pula jam
kelima dan enam ini kosong. Asyik!
Sorak-sorai
tak terhindarkan lagi. Sudah biasa. Doni dan Ray terlihat asyik bermain game di laptopnya. Siska, Maya, Rani,
dan Ayu terlihat obrol sana-sini. Raka pun terlihat tertidur lelap di belakang
kelas beralaskan lantai. Sisanya pun asyik dengan teman sebangku dan depan
belakangnya. Termasuk aku yang asyik dengan laptopku berseluncur di dunia yang
tak pernah ada.
Tiba-tiba
pintu kelas bergerak dengan sendirinya. Berusaha membuka namun percuma. Pintu
terkunci dari dalam. Siapakah gerangan yang mendorong-dorong pintu? Ah ganggu
saja!
Fadli
yang sedari tadi duduk di depan bermain dengan laptopnya berdiri dan melangkah
menuju pintu. Semua mata tertuju padanya. Diintipnya melalui celah kecil di
antara daun pintu. Tangannya seperti menginsyaratkan ada seseorang di luar
sana. Seketika kelas menjadi riuh. Doni berusaha secepat kilat menyembunyikan joystick-nya. Putra membangunkan Raka.
Siska cs pun merapikan posisi kursi. Ah, berusaha menutupi permainan
masing-masing.
Pintu
kelas terbuka, masuk seorang guru muda yang tak lain adalah guru BK kami.
“Jam
kosong ya?” tanya Bu Devi pelan. Dijawabnya pertanyaan itu dengan anggukan dan
jawaban singkat oleh Fadli.
“Nggak,
bu! Cuma nggak ada gurunya,” celetuk Fany dari belakang.
“Oke,
karena nggak ada gurunya sekaligus jam kosong jadi ibu isi aja, ya?” tanya Bu
Devi sembari berjalan menuju tengah kelas.
Hening.
Hanya raut kekecewaan yang tercermin dalam roman. Bermurung durja.
“Emmm, enaknya kita isi apa ini? Ada yang
punya usulan?” lanjut beliau.
“Arti
sebuah jam kosong,” jawab kilat Riki dengan lantangnya. Seluruh kelas
menyambutnya dengan tawa. Ada-ada saja kau, Rik!
“Jam
kosong yang tertukar,” sahut Firman.
“Tidur
saja, Bu!” celetuk Raka.
“Kerjaanmu
tidur melulu,” sahut Riki. Sahutan jawaban aneh terdengar dari kumpulan bangku
cowok.
“Di
sini anak cowoknya pada aneh semua ya. Mungkin anak cewek aja kali ya,” tutur
Bu Devi.
“Cerita-cerita
aja, bu!” usul sebagian anak cewek.
“Cerita
apa?” tanya Bu Devi
“Pengalaman
sebuah jam kosong,” celetuk Riki lagi.
“Bu,
tanya!” Seorang anak cewek berambut panjang berponi mengangkat tangannya. Dengan
cepat semua siswa terdiam. Heran apa yang mau ditanyakan Dita.
“Ya,
tanya apa, mbak?”
“Kok
kamar mandi di sudut samping koridor atas itu nggak pernah dibuka itu kenapa,
bu?” tanya Dita. Seketika kelas hening. Penasaran akan jawaban Bu Devi. Memang
sejak kami diterima empat bulan lalu, kamar mandi itu selalu terkunci dan tak
pernah terbuka. Aneh memang.
“Kalau
itu ibu juga kurang tahu. Tapi menurut guru yang sudah lama di sini, katanya
kamar mandi itu bocor. Tapi kalau dipikir emang aneh juga sih. Bawahnya kamar
mandi dekat koridor atas kan juga kamar mandi tapi kenapa airnya netes di
kantor administrasi yang ada disebelahnya. Ibu kurang tahu masalah itu,” jelas Bu
Devi.
Seorang
anak cowok mengangkat tangan dan berucap, “Tapi katanya kakak-kakak di sana itu
ada sebuah perumahan hantu gitu bu.”
“Ah,
kamu ini ada-ada saja,” jawab Bu Devi. Seketika kelas mulai bersuara lagi.
Bercerita ini-itu tentang kamar mandi itu.
“Sudahlah
kalau kayak gitu jangan dipercaya!” jelas Bu Devi.
Riuh
mulai terdengar dari kelas. Berbagai cerita saling bersahutan, tak terdengar
lagi dengan jelas. Bel pun pula, tak terdengar jelas. Hanya sayup-sayup dari
kejauhan.
Aku
semakin penasaran akan jawaban Bu Devi. Apakah benar adanya bocor hingga
dikunci dan tak pernah terbuka? Lalu apakah benar pula kebocoran itu sampai di
ruang administrasi? Ah, tak logis juga kalau dipikir.
“Kal,
kantin yuk!” ajak Aji membuyarkan lamunanku.
“Eh,
sekarang?” jawabku kaget.
“Nggak,
bro. Tahun depan. Ya sekaranglah!”
bentak Aji.
“Hahaha…
sorry, kawan!” jawabku dengan
candaan.
Kami
pun mulai melangkah keluar kelas yang teletak di lantai dua. Namun, baru
beberapa langkah dari kelas, pikiranku berubah. Seperti ada yang ingin aku
ketahui.
“Ji,
kita lurus aja, ya?!” ajakku.
“Lho,
kok? Bukannya turun di tangga depan aja? Kalau lurus kan malah mutar.”
“Udahlah
lurus aja!” paksaku.
Aji
pun mengikutiku untuk berjalan lurus memutar menuju koridor atas. Terus
melangkah dan melangkah. Kami pun tiba di depan kantor BK yang artinya tak jauh
pula dari koridor atas sekaligus kamar mandi itu. Aku terdiam sejenak.
Mengamati pintu yang terkunci. Menatap dalam dan terus menatap.
“Kal,
Haikal! Ngapain bengong di sini?” Lagi-lagi Aji membuyarkan lamunanku. Aku
hanya bisa terdiam.
“Kau
masih penasaran sama kamar mandi ini? Udahlah nggak usah dipikir. Aku udah tahu
banyak cerita-cerita dari kakakku. Katanya emang kamar mandi ini ada sesuatunya. Ya termasuk lantai dua ini.
Mulai dari tangga paling sudut, paling ujung sana sampai koridor atas ini dan
memutar menuju tangga sudut yang lain. Asal kita tenang nggak ada masalah kok.
Dunia mereka kan beda sama dunia kita.”
“Berarti
kelas kita juga termasuk?” tanyaku, melangkah pelan menyusul Aji melewati
koridor atas.
“Ya
begitulah,” jawabnya singkat.
Tak
ada percakpaan berarti saat kami mulai turun dari koridor atas, melewati kantor
administrasi, komplek kelas dua belas, hingga berjalan menuju kantin sekolah.
Kami hanya melangkah dan terus melangkah. Aku terdiam memikirkan semua kata
demi kata darinya. Ah, apalagi empat hari lagi aku ada jalan malam. Bagaimana
pula jadinya?
***
Sang
mentari silih berganti terbit dan tenggelam. Terbit lagi, tenggelam lagi, terbit
lagi, dan seterusnya. Tak terasa pula empat hari telah berlalu. Cepat sekali
memang. Tak terasa pula ini adalah hari Sabtu dan tak terasa pula jalan malam
pencarian badge tinggal menunggu
beberapa jam lagi. Bayanganku semakin tak menjadi. Terlebih saat ku ingat
kembali ucapan Aji yang telah tercerna. Ah, selalu ada bayangan akan hal itu.
Benar-benar sulit dilupakan.
“Kal!”
panggil Andre saat istirahat pertama tiba di depan kelasku. Ku mengayalkan
langkahku bersama Aji, menoleh kebelakang. Ternyata ia bersama Tya. Semua calon
satu organisasiku.
“Ji,
kamu duluan aja ke kantinya. Aku ada urusan,” Ujarku.
“Ya
deh,” jawab Aji.
Segara
ku langkahkan kaki kembali menuju kelasku. Mereka pun maju ke arahku. Hingga
kami pun berpapasan.
“Ada
apa?” tanyaku.
“Tadi
aku ketemu sama kak Roy, katanya habis istirahat ini kita disuruh kumpul di
aula,” jawab Tya.
“Siap!”
“Bantuin
nyebarin berita ke temen-temen dong!” tambah Andre.
“Lha
kalian?”
“Ya
biar cepet aja, ayolah! Nanti kalau nggak lengkap kan kita juga yang kena
marah. Kamu mau belum dilantik tapi udah mau dikeluarin?!” sahut Tya.
“Ya…ya…okelah!”
pungkasku.
Kami
pun melangkah ke kelas-kelas teman-teman. Cukup melelahkan memang. Tapi ini
demi kekompakan juga. Untunglah beberapa ada di kelas, jadi tak perlu cari ke
sana kemari. Namun, beberapa lain tak ada di kelas. Mau tak mau kami harus
mencarinya. Terus berjuang demi organisasi dan kekompakan ini. Tak mengapa!
Tak
terasa bel masuk telah berbunyi. Berdetang keras menuju sudut demi sudut
sekolah. Semua teman calon seorganisasi telah usai diinformasikan. Lelah. Tak
ada waktu untuk pergi ke kantin. Bagaimana mungkin, hendak ke kantin saja bel
telah berbunyi. Ya, artinya kami harus segera kumpul di aula. Aduh, haus.
“Selamat
pagi adik-adik!” buka kak Roy setelah barisan dirapikan. Berbanjar dan bersaf
rapi layaknya tentara. Gerah dan haus tak menjadi masalah. Semua tetap siap dan
siap.
Dengan
kompak, seluruh pasukan yang terdiri dari dua puluh dua orang berkata dengan
serentak, “Siap, pagi!”
“Beberapa
jam lagi, kalian akan melakukan kegiatan pamungkas audisi pencarian bibit
organisasi Paskibra ini. Kalian saya kumpulkan di sini untuk membahas kesiapan
kalian mengikuti jalan malam. Sejauh apa kalian menyiapkan kegiatan ini. Antusias-kah
atau justru sebaliknya? Kalian tahu, organisasi Paskibra ini adalah melatih
kedisiplinan! Sebagai calon petugas tata upacara bendera, kalian harus
mempunyai kedisiplinan yang tinggi! Termasuk menyiapkan ini. Kalian mengerti?”
“Siap,
mengerti!”
Hening
sesaat tak ada suara sedikitpun di teras aula. Jangankan suara, gerakan
sedikitpun tak ada pula. Baik dari kami ataupun kakak-kakak dengan tampang
sinis yang mengelilingi kami. Benar-benar hening. Sesekali keheningan itu
terusik dengan suara decitan sepatu kak Roy yang mondar-mandir mengelilingi
kami. Lalu, melangkah menuju kak Citra yang berada di depan pasukan. Berbisik.
“Pagi
adik-adik!” pekik kak Citra, kakak senior yang berparas paling cantik diantara
lainnya.
“Siap,
pagi!”
“Di
sini, saya akan bacakan beberapa larangan dan kewajiban barang bawaan kalian!”
Dibukanya beberapa lembar kertas HVS itu oleh kak Citra.
“Satu,
tidak diperkenankan membawa pakaian ganti, kecuali pakaian dalam. Dari rumah
telah memakai kaos hitam dengan celana OSIS.”
“Dua,
tidak diperbolehkan membawa kendaraan, majalah apapun, kartu, benda tajam,
korek api, alat penerangan, peralatan elektronik, dan uang yang berlebihan.”
“Tiga,
dianjurkan untuk membawa obat-obatan pribadi, alat ibadah, alat tidur termasuk
alas.”
“Empat,
tetap diwajibakan membawa alat tulis lengkap, termasuk materi-materi yang telah
diajarkan! Kalian mengerti?” pungkas kak Citra.
“Siap,
mengerti!”
“Oke
adik-adik, nanti sore pukul tiga tepat, kalian harus sudah sampai di sini. Tak ada
ampunan bagi yang terlambat. Mengerti semua?” lanjut kak Roy.
“Siap,
mengerti!”
“Kalau
sudah mengeti, silakan kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan
bersiap untuk nanti sore. Daftar izin, silakan diminta di kak Anggun. Oke,
langsung saja, komando pasukan saya ambil alih, tanpa penghormatan bubar
jalan!”
Kami
pun membubarkan barisan. Tak lupa mengambil surat izin dan bersalam-salaman
dengan kakak-kakak yang gagah. Lekas melangkah menuju kelas, memberikan surat
izin, mengambil tas, dan pulang. Ah, baru kali ini memang aku merasakan pulang
lebih awal. Tapi kalau yang ini sama saja. Setengah sebelas pulang, jam tiga
harus balik lagi. Ah, tak apa, tak masalah.
***
Jam
terus berputar. Dengung alarm membangunkanku dari istirahat siangku. Pukul dua
siang. Sebenarnya masih satu jam lagi, tapi untuk packing akhir sekaligus memantapkan diri. Ah, harus mantap dan
berani.
Tiga
puluh menit berlalu. Semua telah siap. Packing
akhir juga tuntas. Semoga saja tak ada yang tertinggal. Saatnya melakukan
perjalanan menuju sekolah. Lekas ku kendarai sepedaku. Mengayuh dengan cepat.
Aduh, aku takut terlambat. Hei, bukannya tidak diperbolehkan membawa kendaraan?
Ah, tak apa, rumah Andre tak jauh dari sekolah, hanya berbilang seratus meter.
Mungkin aku bisa menitipkan sepedaku di rumahnya. Semoga saja ia belum
berangkat.
Sepuluh
menit berlalu, aku tiba di rumah Andre. Ah, untungnya Andre belum berangkat.
Syukurlah. Lantas ku minta izin dengannya. Boleh. Dimasukkannya sepedaku ke
dalam garasi. Lekas berjalan kaki menuju sekolah bersama.
Tak
perlu waktu lama untuk sampai di sekolah. Hanya lima menit saja gerbang sudah
di pelupuk mata. Hei, ternyata semua telah kumpul di sana. Terlihat sedang
asyik berbincang ini dan itu di samping lapangan tengah.
“Kawan,
kami belum terlambat kan?” ujar Andre saat mendekat pada kumpulan teman-teman.
Aku masih di belakang Andre mengikutinya.
Asyik
berbincang hingga lima belas menit hilang. Berlalu bak kilat. Cepat sekali.
Kakak-kakak berjalan membentuk banjar muncul dari joglo di depan lapangan
tengah. Semua wajah terlihat sinis. Tak ada senyuman sedikitpun dari
kakak-kakak itu. Termasuk pula senyuman kak Citra juga tak ada. Melangkah dengan
penuh kesatirisan.
Melihat
kakak-kakak itu, kami segera berhamburan berlari menuju lapangan tengah, lekas
berbaris dengan sigap.
“Siapa
yang nyuruh kalian ngobrol di sana?!” bentak kak Roy.
Hening.
Tak ada yang berani menjawab jika sudah begini.
“Gini
generasi Paskibra yang baru?! Nggak disiplin!!!”
Lambat
laun bentakan itu semakin bersahu-sahutan. Tak ada kakak yang tak membentak
kami. Semua turut membentak dan membentak. Ah, benar-benar melatih mental.
Matahari
mulai melambaikan tangan tanda ingin berpisah hari ini. Bentakan pun pula ingin
berpisah kali ini. Bentakan itu mulai diredakan dengan jadwal kegiatan yang
harus kami jalani. Mulai latihan fisik, latihan kekompakan, latihan
kedisiplinan, latihan ketegasan, semua harus kami jalani. Seru, namun
menakutkan pula. Sekali kami salah, bentakan itu seketika muncul lagi.
Benar-benar melatih mental.
Pukul
sepuluh malam, kegiatan akhirnya usai. Kami pun diperbolehkan untuk melepas
kepenatan dari kegiatan yang benar-benar menguras kekuatan dan stamina hari
ini. Lekas kami beristirahat di dua kelas yang telah disediakan. Satu kelas
untuk cowok, sementara kelas sebelah untuk cewek. Selamat tidur, semua!
“Pagi,
dik!!! Semuanya bangun! Bangun, dik! Ayo bangun!! Nggak usah males-malesan!!
Kumpul lapangan belakang sekarang!!!”
“Aduh,
kak, aku masih ngantuk. Kenapa pula sampai gebrak-gebrak pintu dan meja?” ujarku
dalam hati. Perlahan ku buka mata yang masih terasa berat. Ku lirik jam dinding
di kelas. Wahai, ini baru jam sebelas-tiga puluh ternyata. Baru satu setengah
jam kami tidur sudah dibangunkan pakai gebrakan meja dan pintu.
Lekas
kami segera membangunkan satu sama lain. Merapikan diri seadanya. Tak lupa pula
cuci muka. Lantas segera menuju ke lapangan belakang. Astaga, pasti ini saatnya
pencarian badge.
“Adik-adik,
selamat malam! Kalian tahu alasan kalian dikumpulkan saat ini juga?” ujar kak
Roy membuka dan memulai instruksi.
“Siap,
malam! … Siap, tahu!” balas kami serempak.
“Bagus
kalau kalian tahu. Malam hari ini adalah puncak dari seleksi dan aktifitas
kalian selama ini. Pencarian badge
Paskibra untuk diri kalian sendiri. Badge
telah tersebar di dalam kelas dan di sudut ruang. Mulai dari kelas sepuluh
hingga kelas dua belas, maupun ruangan lainnya dengan jumlah yang tak kurang
dan tak lebih. Mekanismenya adalah kalian akan mencari badge ini satu-per-satu. Berjalan menyusuri kelas-per-kelas. Satu
orang dengan yang lain diberi tenggang waktu tiga menit. Untuk penerangan, satu
lilin yang telah dinyalakan dan tak ada korek api lagi, jadi mau tak mau kalian
harus jaga lilin itu supaya tetap hidup. Ada pertanyaan?” jelas kak Roy.
Hening
sejenak.
“Siap,
tidak!”
“Oke
untuk nomor undian jalan malam ini akan diberikan oleh kak Satriyo untuk cowok
dan kak Anggun untuk cewek. Cowok nomor ganjil dan cewek nomor genap. Silakan!”
Kak
Satriyo dan kak Anggun menyodorkan kepada kami gelas berisi gulungan kertas
kecil berisi nomor undian. Semua mengantre mendapatkan nomor undian, termasuk
aku. Antrean pun tetap tertib.
“Oh,
Ibu, semoga aku tak berada di nomor satu atau nomor pamungkas!” doaku dalam
hati.
Tiba-tiba
seluruh lampu sekolah padam. Kaget. Hanya ada satu lampu yang masih menyala
terang. Lampu di lapangan ini sebagai penerang urutan kami.
“Silakan
kalian buka dan susun posisi berdasar nomor urutan!”
Perlahan
ku buka gulungan kecil itu. Berdoa dalam hati pun tak lupa. Dan, ternyata… oh,
tidak! Mengapa aku harus mengawali jalan malam ini? Pikiranku mulai tak tenang.
Aku mulai teringat akan ucapan Aji empat hari lalu.
Kak
Roy berkeliling memastikan urutan nomor. Terus melangkah mengitari barisan
cowok dan cewek, sembari berucap, “Oke, dik Haikal, yang pertama adalah kamu.
Siap?!”
“Siap,
kak!” jawabku. Meski detak jantungku kini mulai menjadi-jadi, tapi semua harus
ku beranikan.
Segera
ku ambil sebuah lilin yang telah dinyalakan. Perlahan mulai maju walau aku tak
begitu yakin. Perlahan ku melangkah. Sesekali melihat ke kanan dan ke kiri.
Bisa jadi ada badge di sana. Ternyata
tak ada. Nihil. Segera ku langkahkan kaki menuju lantai dua.
“…Ya termasuk lantai dua ini. Mulai dari
tangga paling sudut paling ujung sana sampai koridor atas ini dan memutar
menuju tangga sudut yang lain…”
Mengapa
aku harus ingat itu? Tuhan, lindungi hamba-Mu!
Angin
dingin mulai berhembus. Api lilin bertiup kesana-kemari. Ku lindungi api itu
dengan tanganku. Aduh, badanku merinding sudah. Kini, tangga pojok menuju
lantai dua telah di hadapanku. Tak sengaja ku lirik ke arah laboraturium fisika
di sebelahnya.
Astaga,
sesosok bayangan putih tampak sekejap oleh mataku. Debar jantung semakin kencang.
Nafas terengah-engah. Ku percepat langkahku.
Angin
berhembus semakin kencang. Api lilinku mati. Gelap. Mau tak mau aku harus
berjalan menuju lantai dua dengan kegelapan. Diri ini semakin panik akan hal
yang terjadi. Nafas sangat terengah-engah. Dengan memantapkan diri, ku
beranikan menaiki tangga menuju lantai dua.
“Tuhan,
selamatkan hamba, Tuhan!”
Tangga
berbelok. Terus ku naik, hingga kini sampai di dua-per-tiga tangga. Ditangkapnya
bunyi langkah sepatu oleh gendang telingaku. Ku pelankan langkahku.
“Sepertinya
peserta kedua telah menyusulku,” pikirku.
“Ayo
bareng saja!” pekikku dari atas. Namun, saat ku lihat ke bawah, nihil. Tak ada
siapa-siapa di sana. Tak karuan lagi betapa merindingnya aku. Saat ku
langkahkan kaki naik satu anak tangga, suara sepatu itu mencul lagi. Seperti
mengikutiku. Lantas ku percepat langkahku.
Aneh.
Lilin yang sedari tadi mati, kini tiba-tiba hidup.
Aku
terperanjat. Reflek, tak sengaja aku menjatuhkan lilin beserta wadahnya. Aku
berteriak, “Aaaa…”. Namun, tak hanya aku yang berteriak. Terdengar suara wanita
juga ikut berteriak dari belakangku. Saat ku tengok ke belakang, nihil. Tak ada
siapa-siapa.
Detak
jantung semakin tak karuan. Nafas pun pula. Ku percepat langkahku. Sedikit
berlari. Sesekali melambatkan langkah, menerangi sekitar, mencari badge.
Angin
mulai berhembus lagi. Tanganku tak henti bergetar. Bibirku tak henti melafalkan
doa. Aku benar-benar takut malam ini.
Aku
mulai mencari ke dalam kelas. Ku beranikan diri memasuki kelas yang gelap nan
sunyi. Baru saja ku buka pintu, jendela di hadapanku berdecit,
terbuka-tertutup. Tapi di sini kan tak ada angin. Aku pun keluar dengan nafas
yang masih terengah-engah.
Aku
terus melangkah pelan hingga kini aku sampai hampir di ujung lantai dua.
Langkahku semakin pelan. Merinding dengan peristiwa aneh tadi. Mencoba terus
berjalan sendirian.
Kamar
mandi pojok yang terkunci. Ya, kamar mandi itu kini berada di pelupuk mata.
Langkahku semakin kaku. Nafas terengah-engah, detak jantung semakin tak karuan,
keringat dingin mulai bercucuran. Ku beranikan menyusuri jalan menuju koridor
sekaligus melewati kamar mandi itu. Apa boleh dibuat, badge pun belum ku dapat.
Ku
langkahkan kakiku pelan melewati kamar mandi itu. Tiba-tiba ku lihat semburat
cahaya terang dari dalam kamar mandi itu. Kaget bukan kepalang. Tanganku
menggetarkan lilin, hingga api lilin terombang-ambing. Ku percepat langkahku
menuju koridor, lantas menuruni tangga.
Ku
melangkah menuruni tangga dengan cahaya seadanya dan perasaan yang tak karuan.
Namun, beruntunglah diriku. Badge yang
ku cari akhirnya ku temukan juga di pojok anak tangga paling bawah. Uh,
akhirnya…!
Lekas
ku kembali menuju lapangan dengan langkah cepat. Tak peduli lagi lilin yang
mati. Tak peduli juga apapun di sekelilingku.
Tak
butuh waktu lama untuk sampai di lapangan belakang. Hanya berbilang satu-dua
menit. Nafas semakin terengah-engah. Keringat kian deras mengalir. Tak sanggup
ku berkata sepatah kata pun. Lantas ku tenangkan diriku di bawah pohon kala ku
telah sampai di lapangan. Ah, akhirnya aku telah sampai. Setidaknya
rasa takut itu telah hilang.
***
Pagi
telah menjelang. Matahari mulai menampakkan diri. Semburat sinarnya menerangi
kegelapan, menghangatkan sisa malam yang dingin. Kami pun telah berbaris rapi
di depan joglo.
“Adik-adik,
malam telah berganti siang. Jalan malam pun telah usai. Bagaimana semua telah
mendapatkan badge?”
Hening.
“Siap,
sudah!”
“Badge itu pun berhak kalian kenakan
mulai besok pagi. Kami ucapkan selamat. Setelah ini silakan kalian bersih diri
dan kelas yang kalian tempati. Setelah itu akan diadakan pelantikan,” jelas kak
Roy.
“Siap
gerak! Bubar jalan!” lanjut kak Roy membubarkan kami.
Perasaan
senang mulai tercurah dalam hati. Ah, tak sia-sia juga ternyata. Lekas kami
bersih diri dan bersih lingkungan.
Selesai.
Lantas kami pun bersiap. Upacara pelantikan yang dipimpin oleh pembina utama
Paskibra telah dimulai. Semua mengikuti dengan hikmat. Selesai. Tuntas. Usai.
Semua kegiatan telah usai. Semua beramah-tamah.
“Karena
kegiatan usai, mari bersenang-senang!” seru kak Roy. Musik telah dibunyikan.
Semua larut dalam keceriaan. Kecuali aku. Aku menjauh dari lapangan tengah,
lantas duduk di taman.
“Nggak
ikut ke sana, Kal?” tanya Tya yang menghampiriku. Lantas duduk di sebelahku.
“Ah,
nggak minat. Kurang suka sama yang begitu.”
“Kal,
tadi malam, kamu jalan sama siapa?” tanya Tya mengalihkan pembicaraan. Dahiku
mengkerut. Bingung akan pertanyaan Tya.
“Aku?
Aku sendirian,” jawabku penuh ragu.
“Tapi
waktu aku jalan setelahmu, di lantai dua aku lihat kamu dari kejauhan bersama
seorang cewek berambut panjang, berpakaian serba putih berjalan di belakangmu.
Wanita itu sedang menggendong kucing hitamnya. Siapa itu, Kal?”
Kaget
bukan kepalang. Jantung seakan berhenti mendengar kalimat dari Tya. aku rasa
aku sendirian, tapi siapa yang berjalan bersamaku?
12/06/2013
***
0 komentar:
Posting Komentar
Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))