Cinta dalam Diam 3: Ajari Aku

Bagian 3: Sebuah cerita dalam diam lanjutan Bagian 1: Perpisahan dan Bagian 2: Masih Sama

Ca, sebenarnya aku suka sama kamu. Aku udah lama memendam perasaan ini. Aku memang nggak mudah buat suka dan menyampaikan perasaan suka itu ke orang lain. Tapi, tidak untuk sekarang. Ya, karena kamu beda. Perbedaannya terletak pada caramu; caramu yang membuatku tersenyum dengan kecerianmu, caramu berbincang denganku, dan caramu mengisi hariku.

"Ah kenapa jadi terlalu melankolis gini ya?!" Aku membaca teks yang kubuat di depan cermin. Mencoret kalimat-kalimat yang sepetinya tak perlu. "Nggak, nggak, nggak enak! Pasti freak kalau gini."

Minggu lalu, Dika sekali lagi bilang, "Kalau lu terus nyimpen perasaan itu sendiri, bakal banyak yang terlewat lagi gitu aja. Udahlah lu ungkapin dulu aja. Entah apa respon dia, setidaknya lu udah ngungkapin semua."

Aku selalu terpikir kalimat Dika itu. Apa benar yang Dika ucapkan? Terlewat untuk kedua kalinya? Mau sampai kapan? Dan sejak tiga hari yang lalu, aku mencoba memikirkan cara untuk menyampaikan hal itu.

Aku tahu ini hal yang tak mudah. Aku juga tahu, nanti akan hanya ada dua kemungkinan. Pertama, semua bakal berjalan lebih indah, dia merespon dengan hal yang sama, dan semua akan baik-baik saja. Kedua, semua akan menjadi canggung, semua bakal awkward, dan mungkin kami nggak akan bisa dekat lagi. Entahlah apa yang terjadi selanjutnya. Bukankah lebih baik menikmati jalan ceritanya saja daripada terus-terusan menerka akhir ceritanya?

Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuk sekadar mengungkapkan apa yang sudah sejak lama terpendam itu. Entah kemungkinan apa yang akan terjadi, life must go on  'kan?

Aku melihat ke arah jam dinding kantor sore itu, pukul 17.25.

"Ca, kamu nggak pulang?" Aku membuka obrolan, mendekat ke meja Chaca. Suasana kantor sudah terbilang sepi sejak 30 menit yang lalu.

"Kayaknya nanti dulu deh, Za. Aku masih harus nge-review satu company lagi nih. Nanggung soalnya," jawabnya masih sambil memandang layar komputer dan coret-coret di kertas, lantas sedikit melirik ke arahku. "Kamu?"

Sebenarnya ini pertanyaan retoris buatku. Ya sejak kami dipertemukan lagi beberapa bulan lalu, mungkin hampir 11 bulan, setelah perpisahan itu, aku hampir tak pernah meninggalkannya, walau hanya sekadar jam pulang. Kami memang sudah dekat sejak saat itu. Tentunya hanya sebatas partner kerja saja. Walaupun sebenarnya ada yang lain.

"Aku? Aku nungguin kamu aja sih."

"Kalau mau balik duluan, balik duluan aja kali!"

Aku lantas mencari alasan, "Sekalian mau ngerapiin file-file aja sih. Emm.... atau ada yang mau ak bantu nggak?"

"Kayaknya nggak ada. Ini juga tinggal satu bagian doang kok."

"Ohh, oke." Aku pura-pura merapikan file-file di meja yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat. Selebihnya aku hanya bermain game sambil sesekali melihat wajahnya yang sedang serius.

Jam dinding menunjukkan pukul 18.07. Dia bilang kalau dia sudah selesai dan beberapa review akan dilanjut esok hari saja. Kami pun berkemas. Sambil berkemas, mungkin ini saatnya yang tepat untuk sekadar mengatakan yang sebenarnya.

"Ca, ada yang ingin aku omongin sama kamu."

Seketika dia mematung sepersekian detik, terkejut. "Apaan, Za?"

Ruangan kosong saat itu, menyisakan kami berdua. Pendingin ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Ayolah Za, sekarang saatnya! Ayolah!

Aku menarik nafas panjang, "Kamu mau langsung pulang kah?"

Ah kenapa yang muncul pertanyaan itu? Kenapa nggak langsung aja diungkapin, hah? Aku benar-benar ingin memaki diriku sendiri saat itu.

"Iya, udah lumayan malem juga sih," jawab Chaca.

Kami pun berjalan beriringan menuju keluar kantor. Pikiranku berkemelut. Apa sekarang saja? Oke ini saat terakhir, nggak boleh gagal.

"Za, sorry ya bikin kamu nunggu lama tadi." Chaca membuka obrolan lebih dulu sebelum aku mampu mengungkapkan hal itu.

"Eh, santai aja kali." Aku mencoba untuk tetap tenang.

"Tapi aku nggak enak sama kamu, Za!"

Aku tartawa kecil, "Nggak enak? Kayak sama siapa aja sih kamu pakai nggak enak."

Seketika dia menoleh sebentar, mengulangi pelan sebagian kalimat yang kuucapkan, "Kayak sama siapa aja?"

Aku diam, hanya tersenyum.

"Tapi kenapa kamu mau nungguin aku?" Dia bertanya lagi.

"Ya, karena aku suka ka....." Aku sempat berhenti sejenak, dia menoleh cepat. "Eh, maksudnya suka aja, kan WiFi-nya juga lumayan kenceng."

Kenapa aku harus berbohong lagi??!! Kenapa nggak langsung bilang yang sejujurnya saja??!!

Dan malam itu, aku hanya bisa meratapi sesal sambil melihatnya berjalan menjauhiku, melambaikan tangan, dan tersenyum, sambil bilang, "Hati-hati di jalan, ya," Malam ini, tak ada kalimat lain yang terucap, tak ada isi hati yang tercurah, dan tak ada perasaan yang terungkap. Meskipun pada akhirnya tak bisa terungkap, tapi dalam doa ada namamu yang selalu kuucap. Dan Sepertinya memang perasaan ini masih setia untuk bersemi dalam diam. Entahlah.

Hujan Sore Itu

 Aku kira pelangi selalu hadir setelah hujan lebat, tapi nyatanya tidak. Seperti sore ini, ia tidak datang walau hanya sekejap, bahkan ketika aku menunggunya hingga fajar menyingsing.

 "Fan, lu udah mau balik belom? Kantor udah sepi nih," ujar seorang wanita di ujung telepon sana. Sore itu gue janji buat jemput dia.

"Iya Sis, sebenernya sih masih ada yang perlu gue kerjain sih," jawab gue sambil melihat layar laptop di meja kerja.

"Kalau gitu, gue nge-ojol aja deh. Takut gue sendirian di kantor."

"Jangan-jangan! Oke gue jemput aja ya? Kan gue udah janji sama lu," potong gue. "Tapi temenin gue ngerjain bentar di kafe biasa ya?"

"Boleh, gue juga lagi kosong habis ini. Oke, gue temenin deh!"

"Kalau lebih dari temen boleh nggak?"

"Eh apaan sih lu! Udah buru jemput gue!"

"Siap!" Dan saat itu juga gue langsung nutup laptop, masukin barang ke tas, dan bersiap jemput Siska.

Namanya Siska. Dia temen deket gue. Ya, teman dekat, atau mungkin 'masih' teman. Kami emang udah deket lama. Udah nggak ada kata nggak enak lagi diantara kami. Kami juga udah saling tahu satu sama lain. Cuma satu hal yang dia nggak tahu dari gue.

"Woyy Sis, dimana lu?" Gue langsung nyolot di telpon tanpa salam.

"Bentar, ini jalan keluar." Dari kejauhan wajah cantiknya sudah terlihat jelas, seolah auranya langsung terpancar. Ya, cewek berkacamata dengan rambut diikat itu berjalan cepat, setengah lari.

"Lama amat!" omelnya ke gue.

"Ah ngomel mulu. Ya lu ngapain nunggu di dalem," balas gue. "Nih pake aja helmnya!"

Kami pun meluncur ke kafe tempat biasa kami nongkrong kalau lagi bosen. Hampir tiap weekend kami selalu datang kesini, cuma buat melepas sepi aja. Karena besok hari libur, bisalah ya malam ini gue berlama-lama sama dia. Dan saking seringnya kami kesini, barista sampai hafal pesanan kami, Chocolate caramel dan Espresso Machiato, dan beberapa cemilan.

"Lu mau nggak?" gue menawarkan kentang goreng ke Siska.

"Nggak, lagi diet," jawabnya sambil scroll timeline media sosial.

"Lagi diet tapi pesennya chocolate caramel. Ya manis-manis juga buuuu!!" Gue mengambil sepotong kentang goreng itu. "Eh tapi nggak apa-apa, gue suka kok kalau lu tambah manis. Bahkan lu mau gendut atau kurus, lu masih cantik. Gue juga tetep suka."

"Nah kan mulai... mulai!! Udah deh lu kerjain aja kerjaan lu!" Seperti biasa, Siska pasti selalu ngomel kalau gue gituin. Tapi entah kenapa gue suka godain dia kayak gitu. Alias, ya emang gue suka. Soal kerjaan, sebenernya kerjaan ini nggak urgent, ya gue cuma ngajak dia kesini aja.

Untungnya setiap dia ngomel kayak gitu, nggak lama balik lagi seperti semula. Kami pun ngobrol lagi, mulai dari kerjaan, cerita di kantornya yang katanya mulai banyak drama, julid masalah instastory temen yang suka pamer, sampai ngomongin pengunjung kafe yang nggak kami kenal. Sesekali kami saling melempar guyonan yang sejujurnya terdengar garing, tapi tetap saja kami bisa tertawa. Mungkin selera humor kami sama-sama rendah.

"Eh besok lu ada acara nggak? Nonton yuk!" tanya gue memotong tertawanya.

"Emm, besok gue ada janji mau ketemuan sama Alvin. Lain kali aja deh, Fan."

"Alvin temen kantor lu itu?" Dia pernah cerita soal si Alvin ini. Dan seketika gue malas buat ketawa lagi.

"Iya. Sorry ya, Fan!"

"Jam berapa emang? Mau gue anter nggak?"

"Jam 3 sih, tapi nggak usah deh!"

"Udah nggak apa-apa. Gue jemput ya besok jam 3?"

"Okedeh kalau lu maksa. Lumayan ngehemat bayar ojol." Siska tertawa lagi. Tapi kali ini gue cuma tersenyum tipis. Gue penasaran mereka mau ngapain nantinya. Iya gue tahu kalau Alvin suka sama Siska. Dan gue juga tahu kalau Siska juga ada perasaan sama ke Alvin. Hah! Kenapa urusan hati ini selalu menjadi pelik?!

Sore itu.

Gue udah siap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Haha... bukan apa sih, cuma terkadang soal hati butuh kesiapan yang mumpuni.

Tepat pukul 3 sore, gue dan Siska sudah tiba di Mall tempat janjian.

"Lantai berapa sih?" tanya gue, berusaha buat baik-baik saja walaupun sebenernya ada yang mengganjal.

"Katanya sih lantai 3, disini." Siska melihat sekeliling sambil menekan smartphone-nya. "Itu kayaknya dia deh! Alvin!"

"Eh nggak teriak-teriak juga kali." Gue menyusul langkah dia yang mulai mendekat ke orang yang dimaksud.

Siska nggak peduli, dia tetap berteriak Alvin sambil mendekati orang itu. Orang itu menoleh cepat. Benar, dia orangnya.

"Eh sorry ya, Sis, udah lama ya nunggunya?" Basa-basi Alvin sesaat setelah tahu Siska ternyata yang memanggilnya. Mereka kemudian tos, tapi kenapa itu pegangan nggak lepas-lepas, ya?!

"Enggak, gue juga baru dateng kok," jawab Siska, "Eh iya, kenalin Alvin ini Irfan. Irfan ini Alvin."

Gue dan Alvin saling bersalaman. Gue tersenyum tipis, mencoba untuk tetap biasa saja. Ya bukannya emang biasa aja, harusnya. Tapi entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang mengganjal dan berkecamuk di dada. Entahlah.

Ternyata gue nggak siap.
Mereka terlihat benar-benar cocok. Saling bercanda, tertawa, bahkan sesekali mereka saling menggenggam tangan satu sama lain. Gue cuma bisa berjalan gontai dibelakang sambil berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas panjang.

"Eh Fan, lu mau makan nggak? Kita mau makan nih," tanya Siska mengaburkan lamunan gue.

"Emm..., kayaknya gue harus cabut dulu deh. Ada urusan mendadak nih. Sorry ya Sis, Vin!"

"Eh kok lu gitu sih?!" Siska berusaha menahan gue.

Sorry Sis, gue cuma nggak kuat sama keadaan ini.

"Sorry banget ya. Gue harus cabut sekarang."

Kini gue udah nyampai di parkiran. Terlihat langit agak mendung, persis seperti apa yang gue rasain. Mungkin semesta menyadarinya.

Gerimis mulai datang. Gue memutuskan untuk singgah terlebih dahulu ke kafe. Ya, mungkin hanya berteduh, atau sekadar menenangkan diri. Huh, kenapa gue bisa ngerasa kayak gini ya?

Gue sadar, gue bukan siapa-siapanya. gue bahkan nggak berhak melarang dia buat jalan dan ketemu siapapun. Gue juga tak berhak buat ngatur dia ingin menaruh perasaan itu ke siapa. Gue hanya teman dekat, yang sepertinya tugas gue hanya untuk menghiburnya saja kala dia sedih, sampai dia temukan orang yang jauh lebih bisa menghibur dan menemaninya. Nggak lebih.

Urusan perasaan itu? Sepertinya gue nggak perlu lagi mempedulikannya. Jika dia memang buat gue, gue yakin, kita akan bertemu pada satu tuju. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya saja 'kan?

Gue menatap tetesan air di balik jendela kafe. Hujan sore ini, gue harap akan ada pelangi yang datang.


Cinta dalam Diam 2: Masih Sama

Bagian 2: sebuah kisah dalam diam lanjutan Bagian 1

"Tumben baru datang, Ca?" Aku mempercepat langkahku saat tahu dia berada di depan, berjalan sejajar dengannya, hendak memasuki gedung perkantoran ini. Basa-basi. 

"Eh?" Wanita yang tepat disampingku menoleh cepat, sepertinya aku sukses membuat dia terkejut. "Iya nih, Za, jalanan rame banget tadi. Mana sempet salah belok driver onlinenya." 

 Ya, dia adalah wanita yang sama, yang pernah aku jumpai di bangku SMA dulu. Wanita yang pernah aku idamkan. Pertemuan singkat dulu ternyata terbayar lunas dengan pertemuan kini. Setelah sekian purnama tak berjumpa, tepat 3 bulan lalu, dia kembali.

 Aku mengusap mata pagi itu saat dia menghampiri dan menugurku. Setengah mengantuk.

"Hai, kamu Reza 'kan?" Suara itu terdengar dari sisi kananku. Aku yang setengah kaget segera membenahi kacatama yang terpasang di dahi. Menoleh.

"Reza 'kan?" Dia mengulang kembali pertanyaan itu. Hei, siapa wanita yang berpakaian formal ini? Bagaimana dia bisa tahu namaku? Dahiku mulai mengerut. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk perlahan. Dia menarik kursi sebelah yang masih kosong, lantas duduk. Aku yang masih bingung siapa dia, mencoba mengingat-ingat. Tapi sepertinya tak ada bayangan sama sekali.

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kamu pasti masih ingat ini kan?"

Boneka penyu? Ingatanku seolah menarik mundur waktu ke masa itu. Masa putih abu-abu. Tepat saat aku mendatangi rumahnya untuk pertemuan yang terakhir kali. Cinta masa SMA yang dulu pernah ada.

"Chaca?" Aku berusaha menebak, dan pasti tebakanku benar.

"Akhirnya kamu ingat juga." Dia tersenyum kecil.

"Sorry, soalnya... agak... beda." Aku memutar-mutarkan jariku di dekat dahi. Mengisyaratkan disitulah perbedaannya. Sebenarnya dia masih sama seperti dulu, berkacamata, berkulit putih, hanya saja sekarang ditambah dengan hijab yang menambah anggun parasnya. Apalagi saat dia ternyum kecil tadi, adalah kombinasi yang sempurna dari sebuah definisi kata manis. "Kamu masih nyimpen itu?"

"Ya... penyu ini yang sering menemaniku kemana pun. Bukankah penyu adalah sebuah simbol kesetiaan? Sejauh apapun dia pergi, dia akan kembali pulang, 'kan?" Dia menyodorkan tangannya. "Aku anak baru disini. Baru hari ini mulai. Dan sepertinya kita satu tim ya?"

Kami pun larut dalam obrolan mengenang masa lalu. Mulai dari setelah dia pindah, kuliahnya, hingga bagaimana dia bisa diterima di kantor konsultan finance ini. Jika dipikir-pikir lucu juga memang. Sejak Chaca pindah, tak ada komunikasi sama sekali diantara kita. Mungkin aku terlalu penakut untuk menghubunginya lebih dulu, walau hanya bertanya kabar. Aku memang bukan pembuka pembicaraan yang baik. Tapi, walaupun tak ada komunikasi selama bertahun-tahun, mengapa tiba-tiba waktu mempertemukan kami kembali? Sebuah kebetulan kah? Aku tak percaya sebuah kebetulan. Bukankah semua sudah digariskan? Entahlah, lucu, juga membingungkan? Dan aku.... hey kenapa tiba-tiba perasaan itu muncul lagi? Perasaan yang masih sama seperti dulu.

Malam harinya, aku mengabarkan kepada Dika yang kini sedang melanjutkan study-nya di negeri seberang. Dia ambisius sekali mengejar pendidikan masternya di luar negeri. Padahal dia tak pintar-pintar amat.

"Kok bisa?!!" Dika terheran di ujung telepon sana. Aku hanya terkekeh. Ya ini memang sangat mengherankan.

Sejak perkenalan pagi itu, tak sulit bagi kami untuk dekat walau dengan obrolan yang sebenarnya itu-itu saja. Obrolan basa-basi yang sangat tidak penting, masalah kerjaan, hingga membicarakan atasan dan teman kantor. Meskipun aku bukan orang yang baik untuk mengawali pembicaraan, tapi aku selalu berusaha untuk memulai. Aku tak mau saat-saat dulu terulang lagi. Meskipun untuk beberapa topik dia hanya mengiyakan saja. Entahlah mungkin tak nyaman, atau sudah tahu kalau itu hanya sekadar basa-basi saja. Aku juga sering berusaha untuk melakukan sesuatu bersama dia, mulai kunjungan ke client, mengerjakan satu-dua hal, istirahat makan siang, hingga saat pulang kantor. Seolah semua berjalan tanpa disengaja. Entahlah.

"Tapi lu masih nyimpen rasa kan sama dia?" ujar Dika melalui telepon malam itu. Aku hanya terdiam. "Lu ungkapin aja kali. Heran dah, daridulu nggak pernah berubah."

"Tapi, kalau ternyata dia nggak punya perasaan yang sama, semua bakal berubah nggak sih? Semua bakal awkward, canggung, nggak sama lagi. Semua bakal...."

"Tapi kalau dia punya rasa yang sama?" Dika memotong pembicaraanku. "Kenapa nggak lu coba dulu? Mau sampai kapan lu diam-diam terus gini?"

Aku hanya menghela nafas.

Tiga bulan berlalu sejak pertemuan itu. Kami masih sering ngobrol hal-hal yang biasa-biasa saja, ataupun hanya sekadar basa-basi, seperti pagi ini.

"Yang penting kan bisa nyampai tepat waktu juga." Aku melanjutkan basa-basi itu.

"Iya sih," jawabnya singkat.

Ya, Semua seolah berjalan tak ada apa-apa. Tak ada yang perlu di-apa-apa-kan bukan? Aku suka dengan kami yang sekarang. Aku juga bahagia dengan keadaan sekarang. Dia selalu membawa keceriaan dengan cara sederhana. Biarkan semua berjalan sebagaimana mestinya saja, walau aku pun tak tahu bagaimana kelanjutannya. Semesta pasti punya cara dan jalannya sendiri.

Fenomena Kekinian Skuter Listrik, Menyenangkan atau Mengancam?

GrabWheels
Skuter Listrik (Gambar dari sumber lain dan hanya contoh)

Skuter listrik yes kali ini, setelah vacum cukup lama, gue bakal bahas sesuatu yang sedang hits di kalangan milenial ini. Kemunculan otoped atau skuter listrik di jalanan kota akhir-akhir ini emang sangat jelas. Bahkan kios yang menyewakan otoped atau skuter listrik makin-makin lama makin menjamur. Sejak Grab meluncurkan GrabWheels-nya, skuter listrik mulai hits. Yes, banyak anak-anak hingga millenial yang berbondong-bondong nyari kios yang menyewakan otoped ini, yang tentunya sangat gampang dicari cuma pakai aplikasi.

Sebenernya sih menurut gue gak ada masalah juga skuter listrik ini mau hits dan semua ingin nyoba. Hanya saja peristiwa tewasnya dua orang pengendara GrabWheels yang tertabrak oleh pengendara mobil di sekitaran Gelora Bung Karno bikin gue agak kesal sama pengendara otoped.

Nah lho? Kok malah sama pengendara otopednya? Lu ngebela pengendara mobilnya yang jelas-jelas udah menewaskan dua orang anak?

Bukan. Gue nulis ini bukan bela siapa-siapa. Bukan juga bakal ngurusin kasus itu. Biarkan yang berwenang yang mengurus kasus itu. Gue cuma keinget sama ulah pengendara sekuter listrik ini yang..... hmm.... entahlah. Ohya gue disini juga gak nyalahin Grab dengan GrabWheels-nya atau kios-kios penyewaannya, ya.


Membahayakan Pejalan Kaki

Gue adalah pengguna transportasi umum di Ibu Kota ini, yang otomatis gue juga pejalan kaki. Hampir tiap hari gue jalan kaki di trotoar Jalan Sudirman Jakarta. Iya, secara kantor gue disekitaran sana. Sebelum negara api menyerang skuter listrik seramai sekarang, gue ngerasa kalau jalan di trotoar, gue gak bakal nabrak kendaraan. Tapi sekarang gue salah, gue pernah hampir diserempet sama skuter listrik kecepatan diatas normal di trotoar. Belum lagi banyak lalu lalang pengendara otoped yang sembarangan. Yes, kadang ditengah, di sebelah kiri, sebalah kanan, kadang malah zigzag. Asli, itu ganggu penjalan kaki banget.

Sebenernya yang ganggu pejalan kaki gini nggak cuma skuter listrik aja tapi para pemain skateboard. Di daerah Bundaran Senayan atau di trotoar Dukuh Atas misalnya, banyak banget skateboarder yang main-main di trotoar. Gue selalu ngerasa was-was dan gak aman pas lewat kerumunan para pemain skateboard dan skuter listrik. Lalu apa gunanya trotoar kalau sama-sama takut ketabrak kendaraan?

Ohya, gak cuma di trotoar, sebelum Dishub DKI ngeluarin larangan skuter listrik naik ke Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), banyak pengendara skuter listrik yang naik ke JPO sambil ngegas skuternya. Ya kalian pasti tahu lebar JPO itu seberapa dan bagaimana sibuknya di jam-jam pulang kantor. Tanpa ngerasa dosa, ganggu atau apa, tak jarang pengendara skuter listrik ini naik dan ngegas skuternya.

Lawan Arah

Gue sering liat para pengendara skuter listrik yang lawan arah. Mirisnya mereka bukan di tempat yang disediakan tapi di jalanan utama alias adu banteng sama pengendara kendaraan lain. Entah karena mereka merasa kendaraan tak bermotor maka bebas lawan arah atau gimana. Yang jelas itu sangat membahayakan pengendara lain yang benar.

Melanggar Lampu Merah

Yang ini juga sering terjadi. Terlebih di jalanan besar. Banyak pengendara skuter listrik yang ngelanggar lampu merah alias main terobos aja. Bahaya, bro!


Sebenernya nggak masalah main skuter listrik, asal di tempat yang lapang atau bukan jalanan umum, baik jalanan kendaraan bermotor atau jalanan pejalan kaki. Emang sih menyenangkan, tapi jangan bikin bahaya orang lain. Sama-sama menyenangkan kan asik. Ya, kan?

Pertanyaannya kenapa yang kekinian, hits, dan viral selalu nimbulin masalah baru?

Tentang Cerita Viral KKN Desa Penari

KKN Desa Penari

Ini adalah post pertama gue di tahun 2019. Iya sejak disibukkan dengan urusan perduniawian, gue nggak pernah update lagi. Hiatus, kalau kata orang. Sibuk atau.... ya antara sok sibuk atau malas ternyata beda tipis. Entahlah. Di sela-sela kemalasan kesibukan gue, ada sesuatu yg pengin gue sampaikan, lebih tepatnya buat gue cuap-cuap nggak jelas kayak tulisan ini. Hahaha

Dari judul post pasti kalian sudah tahu arah tulisan ini. Ya, tentang tulisan dari sebuah akun Twitter sebut saja SimpleMan (karena gue lupa nama user atau @-nya apa) tentang KKN 6 orang mahasiswa dari kota S di sebuah "desa penari" di kota B. Gue nggak akan nulis ulang tweet itu atau nyeritain lagi kisah viral itu. Karena gue yakin sudah banyak yang ngelakuin itu. Dan sebenernya gue juga males buat nyeritain ulang atau sekedar buat ngopi-paste. Mending ngopi sambil menikmati senja kalau kata anak indiae.

Cerita-cerita berbau mistis adalah salah satu cerita yang gue jadiin readlist ataupun playlist. Mulai dari cerita tentang cerita-cerita dari Kisah Tanah Jawa, Keluarga Tak Kasat Mata yang pernah viral di Kaskus, hingga Rumah Eyang-nya Mizter yang juga pernah viral di channelnya Raditya Dika. Karena itulah gue sering nyari cerita-cerita semacam itu, hingga ketemu sama cerita ini.

Gue pertama kali baca cerita KKN versi Widya kira-kira bulan Juli 2019, antara pertangahan atau akhir. Terlepas dari nyata atau tidaknya cerita itu, menurut gue, sang pencerita atau SimpleMan ini runtut banget dalam menyampaikan cerita dari narasumber. Story telling-nya juga dapet, terlebih dengan konflik yang nggak cuma ngangkat horror dan mistisnya saja, tapi juga konflik internal di grup KKN itu. Hingga pada klimaksnya, bener-bener serasa ikut di dalamnya. Gue juga dengan mudah nangkep pesan-pesan yang ingin disampaikan penulis. Nggak terkesan menggurui. Seru ngikutin jalan ceritanya. Ya, sekali lagi, terlepas dari nyata atau tidaknya sebuah cerita yang baca atau geu dengar, gue cuma menikmati alur ceritanya aja, nyoba ngambil pesan yang ingin disampaikan, kali aja bisa dibuat pembelajaran.

Gue salah satu orang yang percaya kalau sesuatu itu ada. Gue percaya kalau kita dan sesuatu itu punya dunia yang mungkin saling beririsan. Gue juga percaya ada beberapa orang yang emang punya sensitivitas dan mampu berkomunikasi entah verbal ataupun nonverbal dengan sesuatu itu. Bahkan orang terdekat gue juga mampu kayak gitu. Dan gue pun pernah juga ngalamin yang berhubungan dengan sesuatu kayak gitu. Makanya gue selalu jadiin pembelajaran setiap cerita yang gue baca, terlepas dari nyata atau tidaknya kisah itu.

Lalu apa hubungannya sama KKN Desa Penari?

Gue perihatin dengan beberapa netizen yang sok jadi detektif dadakan buat nyari lokasi KKN itu. Nggak cuma lokasi, sebagian malah nyari siapa orang-orang yang terlibat sampai di mana kampus mereka. Gue sangat perihatin sama hal itu. Terlebih di awal tweet penulis sudah berjanji dengan narasumber bahwa semua akan disamarkan. Dan ini nggak cuma sekali ini saja pada cerita KKN Desa Penari. Di cerita Rumah Eyang pun juga banyak yang ngelakuin itu. Entah mungkin cerita lain yang viral juga akan seperti itu.

Hei bung, sudahlah jangan nggak usah sok jadi detektif. Apa yang sebenernya ingin kalian lakukan jika tahu semuanya? Membuktikan keaslian cerita? Atau cuma nyari konten buat ngejar AdSense?

Terlepas dari nyata tidaknya cerita itu. Nikmati saja setiap alur dan jalan ceritanya. Jika itu nyata pun, sudah semestinya ditutup rapat-rapat karena menyangkut aib orang yang sudah nggak ada, nama desa hingga kota itu, bahkan nama kampusnya. Ambil pesan yang ingin disampaikan penulis lewat cerita itu. Toh dalam cerita KKN Desa Penari, pesan yang disampaikan cukup dalam lho. Berlaku sopan dan santun di lingkungan baru. Junjung tinggi tata krama atau dalam istilah jawa yang lebih tinggi disebut unggah-ungguh. 
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Stop jadi detektif dadakan buat cerita-cerita seperti itu. Jika tebakan kalian meleset, bisa-bisa jadi fitnah. Jika emang tau setiap jengkal detil cerita, tutup rapat-rapat, jadikan rahasia pribadi saja. Apa nggak kasian sama keluarga orang-orang yang terlibat langsung di cerita itu, terlebih keluarga orang yang telah meninggal?