Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Tentang Cerita Viral KKN Desa Penari

KKN Desa Penari

Ini adalah post pertama gue di tahun 2019. Iya sejak disibukkan dengan urusan perduniawian, gue nggak pernah update lagi. Hiatus, kalau kata orang. Sibuk atau.... ya antara sok sibuk atau malas ternyata beda tipis. Entahlah. Di sela-sela kemalasan kesibukan gue, ada sesuatu yg pengin gue sampaikan, lebih tepatnya buat gue cuap-cuap nggak jelas kayak tulisan ini. Hahaha

Dari judul post pasti kalian sudah tahu arah tulisan ini. Ya, tentang tulisan dari sebuah akun Twitter sebut saja SimpleMan (karena gue lupa nama user atau @-nya apa) tentang KKN 6 orang mahasiswa dari kota S di sebuah "desa penari" di kota B. Gue nggak akan nulis ulang tweet itu atau nyeritain lagi kisah viral itu. Karena gue yakin sudah banyak yang ngelakuin itu. Dan sebenernya gue juga males buat nyeritain ulang atau sekedar buat ngopi-paste. Mending ngopi sambil menikmati senja kalau kata anak indiae.

Cerita-cerita berbau mistis adalah salah satu cerita yang gue jadiin readlist ataupun playlist. Mulai dari cerita tentang cerita-cerita dari Kisah Tanah Jawa, Keluarga Tak Kasat Mata yang pernah viral di Kaskus, hingga Rumah Eyang-nya Mizter yang juga pernah viral di channelnya Raditya Dika. Karena itulah gue sering nyari cerita-cerita semacam itu, hingga ketemu sama cerita ini.

Gue pertama kali baca cerita KKN versi Widya kira-kira bulan Juli 2019, antara pertangahan atau akhir. Terlepas dari nyata atau tidaknya cerita itu, menurut gue, sang pencerita atau SimpleMan ini runtut banget dalam menyampaikan cerita dari narasumber. Story telling-nya juga dapet, terlebih dengan konflik yang nggak cuma ngangkat horror dan mistisnya saja, tapi juga konflik internal di grup KKN itu. Hingga pada klimaksnya, bener-bener serasa ikut di dalamnya. Gue juga dengan mudah nangkep pesan-pesan yang ingin disampaikan penulis. Nggak terkesan menggurui. Seru ngikutin jalan ceritanya. Ya, sekali lagi, terlepas dari nyata atau tidaknya sebuah cerita yang baca atau geu dengar, gue cuma menikmati alur ceritanya aja, nyoba ngambil pesan yang ingin disampaikan, kali aja bisa dibuat pembelajaran.

Gue salah satu orang yang percaya kalau sesuatu itu ada. Gue percaya kalau kita dan sesuatu itu punya dunia yang mungkin saling beririsan. Gue juga percaya ada beberapa orang yang emang punya sensitivitas dan mampu berkomunikasi entah verbal ataupun nonverbal dengan sesuatu itu. Bahkan orang terdekat gue juga mampu kayak gitu. Dan gue pun pernah juga ngalamin yang berhubungan dengan sesuatu kayak gitu. Makanya gue selalu jadiin pembelajaran setiap cerita yang gue baca, terlepas dari nyata atau tidaknya kisah itu.

Lalu apa hubungannya sama KKN Desa Penari?

Gue perihatin dengan beberapa netizen yang sok jadi detektif dadakan buat nyari lokasi KKN itu. Nggak cuma lokasi, sebagian malah nyari siapa orang-orang yang terlibat sampai di mana kampus mereka. Gue sangat perihatin sama hal itu. Terlebih di awal tweet penulis sudah berjanji dengan narasumber bahwa semua akan disamarkan. Dan ini nggak cuma sekali ini saja pada cerita KKN Desa Penari. Di cerita Rumah Eyang pun juga banyak yang ngelakuin itu. Entah mungkin cerita lain yang viral juga akan seperti itu.

Hei bung, sudahlah jangan nggak usah sok jadi detektif. Apa yang sebenernya ingin kalian lakukan jika tahu semuanya? Membuktikan keaslian cerita? Atau cuma nyari konten buat ngejar AdSense?

Terlepas dari nyata tidaknya cerita itu. Nikmati saja setiap alur dan jalan ceritanya. Jika itu nyata pun, sudah semestinya ditutup rapat-rapat karena menyangkut aib orang yang sudah nggak ada, nama desa hingga kota itu, bahkan nama kampusnya. Ambil pesan yang ingin disampaikan penulis lewat cerita itu. Toh dalam cerita KKN Desa Penari, pesan yang disampaikan cukup dalam lho. Berlaku sopan dan santun di lingkungan baru. Junjung tinggi tata krama atau dalam istilah jawa yang lebih tinggi disebut unggah-ungguh. 
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Stop jadi detektif dadakan buat cerita-cerita seperti itu. Jika tebakan kalian meleset, bisa-bisa jadi fitnah. Jika emang tau setiap jengkal detil cerita, tutup rapat-rapat, jadikan rahasia pribadi saja. Apa nggak kasian sama keluarga orang-orang yang terlibat langsung di cerita itu, terlebih keluarga orang yang telah meninggal?

Antara Bowo, TikTok, dan Netizen Maha Benar

Bowo TikTok
Sumber gambar: tribunnews.com

Siapa dari kalian yang nggak tahu Prabowo Mondardo, atau yang lebih dikenal dengan Bowo Apenliebe (ini bener kan tulisannya kayak gini?)? Mungkin gue nggak perlu nyeritain siapa dia dan darimana asalnya, karena gue yakin kalian semua sudah tahu, yang jelas dia lagi viral beberapa waktu yang lalu hingga saat ini. Nah, konon si Bowo sang artis TikTok ini viral karena mengadakan meet and greet berbayar untuk para fansnya yang notabene masih berusia anak-anak alias abg. Nah buat dateng ke acara M&G ini konon katanya dipasang tarif yang cukup mahal untuk seusia para fansnya.

Sebelum gue bahas lebih lanjut, gue klarifikasi dulu kalau gue bukan dipihak manapun. Gue nggak pro sama Bowo maupun kontra sama Bowo. Gue netral sih. Gue bebas-aktif, nggak pihak blok barat dan blok timur. Helah....

Oke gue lanjutin, gue nggak masalahin dia mau jadi artis kek, mau ngadain M&G kek, atau mau kayak gimana, gue nggak mau komentar. Gue cuma nyorotin perilaku para netizen yang maha benar dan maha dewa. Wahai netizen maha benar yang terhormat......

Gue mau heran, kok sampai segitunya para netizen melakukan bullying terhadap Bowo. Apakah pantas seorang anak usia 12 tahun menerima cemoohan dan hinaan seperti itu? Apasih salahnya Bowo?

Bowo mau ngadain M&G berbayar itu urusan dia, itu juga cara dia buat monetisasi diri dan karyanya. Sama kayak blog dan situs-situs ternama yang meletakkan iklan, itu juga cara monetisasi blog dan situs (termasuk gue, klik iklan gue dongs, ehehe). Sama juga kayak ngundang vlogger buat ikut acara kita, ya kita bayar. Itu juga monetisasi. Kata lain dari motesisasi itu kayak memberikan penghargaan berupa materi terhadap suatu karya. Dan menurut gue itu sah-sah aja.

M&Gnya mahal sampai ada adek kalian atau anak kecil yang marah-marah minta duit ke orang tua? Kalau ini sebenernya simple, cukup nasehatin atau larang keluarga kalian dateng ke M&G itu kalau emang kalian nggak suka, dan kalian nganggep itu kemahalan atau pembodohan atau apalah. Cukup larang dateng ke sana. Simpel kan. Itu kayak kalian ngopi di cafe mbak-mbak ijo. Bagi sebagian orang bakalan nikmat ngopi disana, meskipun mahal. Kalau kalian nggak suka atau ngerasa kemahalan, ada opsi buat nggak kesana kan? Nggak perlu sampai ngebully cafe itu kan?

Gara-gara Bowo, adek kalian atau anak kecil kecanduan main TikTok sampai nggak mau belajar? Ya itumah salah kalian sendiri. Masa iya, anak kecil seumuran anak SD-SMP udah dipegangin HP? Kan salah sendiri itu. Kenapa nggak dilarang, atau minimal dibatasi lah? Tinggal dipengaruhin aja sama betapa asyiknya aktivitas diluar, kayak main bola sampai adzan maghrib gitu. Jadi keeinget gue waktu kecil.

Jadi, apa salah dan dosaku sayang *sambil nyanyi ala mbak via dan mbak nella*. Apasih salah dan dosa Bowo sampai segitunya kalian membully, wahai netizen yang maha suci? Inget ya, Bowo itu masih 13 tahun. Masih terlalu dini membaca dan mendengar umpatan kasar, apalagi yang tertuju padanya. Dia kan hanya mengekpresikan dirinya melalui suatu karya. Dia hanya ingin berkarya. Ya, gue nyebut itu karya. Mungkin bagi sebagian orang karya itu terlalu jelek atau gimana, sesungguhnya itu hanya masalah selera. Jujur ketika gue lihat ada video TikTok, gue ngerasa ah apaan sih kayak gini, nggak jelas. Tapi gue masih nyebut itu karya. Sama seperti karya-karya lain yang hanya masalah selera untuk menyukainya. Mungkin kalian bakal nyebut puisi kontemporer Sutardji C. Bahri dan Sapardi Djoko Damono itu jelek kalau kalian emang nggak suka sama puisi kontemporer. Kalian juga bakal nganggep novelnya Raditya Dika jelek kalau kalian emang nggak suka bacaan bercandaan. Simpel, itu hanya masalah selera. Kalian juga bakal nganggep blog ini jelek, kalau..... jangan deh ya, jangan kalian nggak suka blog ini. Please, besok kesini lagi.... Jadi, kesimpulannya itu hanya masalah selera yang tak perlu dibesar-besarkan. Biarkan yang suka silakan menikmati, yang nggak suka silakan cari yang kalian suka.

Nah, denger-denger juga, terlepas dari bener atau hoaxnya, Bowo udah nggak sekeloh lagi karena takut dibully. Apakah ini hukuman yang kalian inginkan kepada anak yang hanya ingin berkarya, wahai netizen? Mencerdaskan kehidupan bangsa itu tujuan negara, lho gaes. Bukan main-main itu. Semua pihak harus mendukung. Tapi kenapa kalian sukses menjadikan anak putus sekolah?

Denger-denger juga, ibu dari Bowo juga berhenti dari pekerjaannya untuk menjaga anaknya yang konon para netizen sudah mulai main fisik. Nah ini juga yang kelewatan. Kok ya kalian tega sampai mematikan matapencaharian orang tua Bowo? Orang tua mana juga yang nggak sakit hati anaknya dikata-katain, padahal seumur-umur dia nggak pernah ngata-ngatain anaknya, hah? Heran gue sama orang yang suka bully Bowo!

Sekali lagi, Bowo itu masih usia anak-anak yang nggak pantes buat dapat perlakuan yang tidak menyenangkan kayak gitu. Mental dia masih mental anak-anak yang belum pantes dapat hinaan kasar. Masa depan dia juga masih panjang. Ya, siapa tahu dari TikTok membawanya ke dunia kreatif lain, seperti vlogger Youtube ternama kayak Arief Muhammad ataupun Gita Savitri. Ya, kemungkinan itu ada kan.

Sekian dari gue. Stop Bullying. Kalau kalian emang nggak suka, nasehati diri sendiri dan orang lain secara halus, sebisa mungkin hanya empat mata. Jangan memberikan umpatan, hinaan, cemoohan, atau apalah namanya kepada siapapun, terlebih kepada anak-anak.

Yaps, Say No to Bullying. Stop Bullying, let's be a friend.

Stop Pembulian

Fenomena "Mendadak Miskin", Bangga Menjadi "Orang Tidak Mampu" Baru

Namanya Pak Dono, seorang walikota di sebuah kota besar. Sebagai seorang walikota yang bertanggungjawab, ia ingin melihat tingkat kemiskinan warganya, menanyakan ke Pak Jono.
"Sampai dengan hari ini, tingkat kemiskinan warga di kota ini meningkat pesat, Pak." jawab Pak Jono. "Data menunjukkan angka 45%."
"Lhah, kok bisa? Bukannya bulan kemarin kalau nggak salah hanya 10%?!" Pak Dono kaget.
"Ya wajar, Pak. Bulan ini kan bulan pendaftaran masuk sekolah dan kuliah."
Namanya Pak Eddy, seorang kepala bidang di sebuah perusahaan. Datang ke kantor keluruhan pagi itu bersama anaknya yang akan mendaftar SMA favorit, mengendarai mobil SUV silver keluaran terbaru. Mencari Pak Lurah, tujuannya. Sayang, Pak Lurah belum ada di kantor pagi itu, masih rapat di kota kecamatan. Dia dan anaknya menunggu. Dilihatnya jam tangan impor dari Eropa yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah 2 jam menunggu. Pak Eddy mulai kesal. Orang disebelahnya iseng bertanya hendak apa.
"Mau minta tandatangan Pak Lurah buat SKTM pendaftaran sekolah anak saya." jawabnya.
Namanya Miko, juara lomba biologi antar SMP di kota kabupaten setahun lalu, tinggal di pulau kecil. Dia termenung pagi ini, memandangi ijazah SMP yang ia pegang erat. Ditariknya nafas panjang, kemudian dihembuskan perlahan. Ijazah itu tak akan berguna, pikirnya. Ya, tak berguna. Dia tak dapat melanjutkan sekolah. SMA terdekat ada di pulau seberang. Jangankan melanjutkan SMA di pulau seberang, untuk perjalanan pendaftaran saja tak ada ongkosnya. Sejak ditinggal sang ayah untuk selamanya tiga bulan yang lalu, bekerja adalah prioritas utama untuknya. Sang ibu hanya pencari umbi di desanya. Sementara kedua adiknya yang kembar, masih duduk di bangku sekolah dasar. Melanjutkan sekolah sudah terhapus dari daftar cita-citanya. Lantas air mata membasahi ijazah itu.
*Mohon maaf jika ada kesamaan nama
***
Post ini sengaja saya awali dengan 3 buah cerita fiksi, yang mungkin sebagian dari kalian udah bisa nebak keanehan dalam cerita itu. Itulah potret yang gue amati akhir-akhir ini. Ya, dimasa pendaftaran, baik itu pendaftaran SD, SMP, SMA, maupun Kuliah sekalipun, selalu sama. Fenomena mendadak jadi orang miskin semakin marak terjadi. SKTM atau Surat Keterangan Tidak Mampu seakan udah jadi barang yang paling diidam-idamkan. Padahal, kenyatannya sebagian besar dari pemegang SKTM itu seperti Pak Eddy.

Usut punya usut, kebanyakan orang-orang seperti Pak Eddy memakai SKTM untuk memuluskan jalan anaknya yang daftar di sekolah favorit. Ada kuota tersendiri bagi warga tidak mampu yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah tersebut. Nah, orang-orang seperti Pak Eddy ini yang memanfaatkan hal tersebut. Sebagian lainnya, memang menginginkan sekolah gratis dengan surat itu. Hari gini, siapa juga yang nggak pengin gratis? Tapi bagaimana dengan Miko yang seharusnya lebih pantas mendapatkan kuota sekaligus beasiswa itu? Bukannya itu sama aja kayak mendzolimi orang-orang seperti Miko?

Ya, saya agak geram ngeliat para orang tua yang seharusnya tergolong mampu untuk menyekolahkan anaknya, eh malah mengambil hak-hak orang yang lebih membutuhkan. Terlebih lagi yang menggunakan SKTM itu untuk beasiswa kuliah. Dapat beasiswa dengan SKTM, tapi sering ngopi di cafe mewah. Mungkin, bisa jadi si anak yang mandiri dan sudah bekerja paruh waktu untuk "bergaya mewah" tapi mbok ya kalau udah ngerasa mampu, mundur dari beasiswa dengan SKTM tersebut. Karena masih banyak orang yang pantas mendapatkannya.

Bukannya saya iri atau apa, saya cuma "gemas" dengan orang-orang seperti Pak Eddy. Apa ya kalian nggak ngerasa kasihan dengan orang-orang seperti Miko? Apa kalian nggak bersyukur dengan apa yang kalian punya sekarang hingga merasa sebagai yang paling tidak mampu?

Ah, entahlah.....

Menjadi Technopreneur, Mengapa Tidak


bisnis teknologi


Bicara soal bisnis, pasti tak aing dengan istilah Technopreneurship. Sebenarnya apa sih Technopreneurship itu? Technopreneurship adalah suatu istilah gabungan antara technology dan entrepreneurship, yang berarti teknologi dan kewirausahaan. Ya, istilah kasarnya adalah suatu usaha bisnis yang dibalut dengan sistem teknologi. 

Sebenarnya sudah banyak bermunculan para Technopreneur (sebutan untuk orang yang menciptakan dan mengembangkan Technopreneurship) saat ini. Misalnya saja facebook, twitter, Microsoft, google, dan lain sebagainya. Di Indonesia pun ada juga KasKus yang diciptakan dan dikembangkan oleh Andrew Darwis, yang kini menjadi forum terbesar di Indonesia, maupun GoJek yang diciptakan Nadiem Makarim yang berhasil berkembang pesat dalam beberapa bulan terakhir.

Tapi, Technopreneurship nggak melulu berkutat dengan menciptakan website dan aplikasi dengan sebuah hosting. Meski sebagian besarnya seperti itu, katakanlah GrabTaxi, Tokopedia, Traveloka, dan lain sebagainya, tapi pada intinya Technopreneurship adalah kegiatan mengubah usaha tradisional menjadi lebih modern dengan berbasis teknologi. Misalnya saja yang dulunya marketing yang dilakukan secara door-to-door, kini dilakukan dengan sistem online via situs jual beli. Yang dulu nembak gebetan harus langsung tatap muka, kini bisa lewat situs jejaring sosial maupun aplikasi chatting.

Banyak manfaat yang diperoleh seseorang Technopreneur. Baik manfaat yang dia dapatkan secara, maupun untuk orang lain. Pada dasarnya Technopreneurship adalah membuka lapangan kerja baru. Maka dari itu, Technopreneurship dapat mengurangi pengangguran-pengangguran karena lapangan pekerjaan bertambah. Juga mengurangi populasi jomblo ngenes karena media nembak gebetan bertambah. 

Technopreneurship juga membuat si pencipta dan pengembang lebih bebas bekerja karena di sana mereka menjadi bos atau CEO dalam bisnisnya. Keren, bukan? Kapan lagi kerja langsung jadi CEO tanpa jadi staff. Selain itu juga menyiapkan diri untuk menghadapi perdagangan bebas dunia. Apalagi tinggal hitungan bulan, Indonesia telah masuk ke dalam MEA.

Namun, cita-cita menjadi Technopreneur sangat minoritas di Indonesia. Mayoritas akan lebih bangga bekerja di bawah suatu instansi maupun BUMN atau BUMS. Sejak kecil, anak-anak sudah didekte untuk bercita-cita menjadi dokter, polisi, atau apalah. Tapi hampir tidak ada yang menjawab ingin jadi pengusaha, apalagi Technopreneur.

Bahkan saat ketemu sama temen lama, yang ditanya setelah tanya kabar, pasti yang ditanya adalah; Sekarang, kerja di mana? Bukan Sekarang udah nyiptain lapangan pekerjaan apa? Sepele sih, tapi maknanya berbeda jauh. Yang satu cuma ikut kerja jadi “kuli” dan yang lain mngusahakan orang lain dapat pekerjaan.

Dan anehnya dengan bangga akan dijawab, “Oh, sekarang gue udah kerja di perusahaan tambang dan minyak terbesar di dunia.” Jawabnya pun dengan penuh kesombongan hingga koar-koar. Berbeda jika menjawab, “Oh gini jadi gue lagi ngembangin bisnis yang berbasis teknologi, semacam startup.” Jawabnya akan merasa lemas. Dan terbukti kalau menjadi Technopreneur memang jauh dari minat mayoritas.

Apalagi saat kenalan sama calon mertua. Beliau akan lebih senang jika pertanyaan tentang pekerjaan dijawab, “Oh, ini saya kerja di Chevron, perusahaan pertambangan minyak terbesar. Gaji saya sebulan cukup untuk makan di restoran mewah tiap akhir pekan. Kadang saya juga dapat tiket jalan-jalan ke luar negeri—” Daripada pertanyaan itu dijawab, “Oh, ini saya sedang mengembangkan bisnis online saya. Ya, saya sedang mencoba mengembangkan startup. Tapi maaf saya nggak ada yang ngegaji (ya iyalah nggak ada yang ngegaji, kan dia bosnya, alias yang ngasih gaji).”

Maka tak heran, kini, perusahaan khususnya dibidang IT yang menetap di gedung-gedung pencakar langit Indonesia, didominasi oleh orang asing sebagai CEO, sementara orang Indonesia hanya sebagai pekerja. “Yang penting aku dapat pekerjaan dan digaji cukup. Nggak peduli mau kerja di perusahan siapa.” Kurang lebih seperti itulah pemikiran pekerja Indonesia sekarang.

Paradigma seperti itulah yang mestinya dihilangkan. Technopreneur sebenarnya adalah orang-orang calon sukses di masa depan. Bahkan sudah banyak sharing pengalaman mengenai Technopreneur yang telah sukses di saat yang masih belia, katakanlah di bawah 25 tahun, hanya dengan bermodal akun media sosial dan aplikasi chatting. Tak tanggung-tanggung omset yang dihasilkan hingga ratusan juta perbulan. Mengejutkan, bukan?

Menjadi Technopreneur pun tidak memerlukan modal yang besar. Dengan modal seadanya pun, atau katakanlah modal nol rupiah, seorang Technopreneur juga dapat mulai merintis karir. Misalnya dengan menjualkan produk orang lain dengan sistem dropshiping atau reselling melalui sosial media, maupun aplikasi lain.

Meski tak memerlukan modal dalam hal materi, justru Technopreneur sebenarnya membutuhkan modal yang sangat besar. Modal itu adalah keberanian, niat yang kuat, dan kesungguhan. Bukan sekadar ingin coba-coba yang berujung dengan kalimat, “Ah, kayaknya kalau aku bisnis ini, nggak bakal laku. Ganti yang lain ajalah.” Dan kemudian bisnis itu gagal terwujud. Kalah sebelum berperang. Jika masih berpikir seperti ini, modal keberanian, niat yang kuat, dan kesungguhan belum sepenuhnya ada dalam diri. Padahal itulah kunci terbesar untuk menjadi seorang Technopreneur.

Meminjam sebuah kalimat dari alm. Bob Sadino. Beliau berkata, “Ketika saya ditanya bisnis apa yang paling bagus? Maka jawabannya adalah bisnis yang dijalankan, bukan sekadar diomongkan.

Ayo menjadi Technopreneur muda. Buat lapangan pekerjaan sendiri. Buat Indonesia bangga dengan bisnismu.

UKM TDC ITS, Technopreneurship, kewirausahaan



Surabaya, 06 Oktober 2015

Ahsanul Marom
5215100031