Hujan Sore Itu

 Aku kira pelangi selalu hadir setelah hujan lebat, tapi nyatanya tidak. Seperti sore ini, ia tidak datang walau hanya sekejap, bahkan ketika aku menunggunya hingga fajar menyingsing.

 "Fan, lu udah mau balik belom? Kantor udah sepi nih," ujar seorang wanita di ujung telepon sana. Sore itu gue janji buat jemput dia.

"Iya Sis, sebenernya sih masih ada yang perlu gue kerjain sih," jawab gue sambil melihat layar laptop di meja kerja.

"Kalau gitu, gue nge-ojol aja deh. Takut gue sendirian di kantor."

"Jangan-jangan! Oke gue jemput aja ya? Kan gue udah janji sama lu," potong gue. "Tapi temenin gue ngerjain bentar di kafe biasa ya?"

"Boleh, gue juga lagi kosong habis ini. Oke, gue temenin deh!"

"Kalau lebih dari temen boleh nggak?"

"Eh apaan sih lu! Udah buru jemput gue!"

"Siap!" Dan saat itu juga gue langsung nutup laptop, masukin barang ke tas, dan bersiap jemput Siska.

Namanya Siska. Dia temen deket gue. Ya, teman dekat, atau mungkin 'masih' teman. Kami emang udah deket lama. Udah nggak ada kata nggak enak lagi diantara kami. Kami juga udah saling tahu satu sama lain. Cuma satu hal yang dia nggak tahu dari gue.

"Woyy Sis, dimana lu?" Gue langsung nyolot di telpon tanpa salam.

"Bentar, ini jalan keluar." Dari kejauhan wajah cantiknya sudah terlihat jelas, seolah auranya langsung terpancar. Ya, cewek berkacamata dengan rambut diikat itu berjalan cepat, setengah lari.

"Lama amat!" omelnya ke gue.

"Ah ngomel mulu. Ya lu ngapain nunggu di dalem," balas gue. "Nih pake aja helmnya!"

Kami pun meluncur ke kafe tempat biasa kami nongkrong kalau lagi bosen. Hampir tiap weekend kami selalu datang kesini, cuma buat melepas sepi aja. Karena besok hari libur, bisalah ya malam ini gue berlama-lama sama dia. Dan saking seringnya kami kesini, barista sampai hafal pesanan kami, Chocolate caramel dan Espresso Machiato, dan beberapa cemilan.

"Lu mau nggak?" gue menawarkan kentang goreng ke Siska.

"Nggak, lagi diet," jawabnya sambil scroll timeline media sosial.

"Lagi diet tapi pesennya chocolate caramel. Ya manis-manis juga buuuu!!" Gue mengambil sepotong kentang goreng itu. "Eh tapi nggak apa-apa, gue suka kok kalau lu tambah manis. Bahkan lu mau gendut atau kurus, lu masih cantik. Gue juga tetep suka."

"Nah kan mulai... mulai!! Udah deh lu kerjain aja kerjaan lu!" Seperti biasa, Siska pasti selalu ngomel kalau gue gituin. Tapi entah kenapa gue suka godain dia kayak gitu. Alias, ya emang gue suka. Soal kerjaan, sebenernya kerjaan ini nggak urgent, ya gue cuma ngajak dia kesini aja.

Untungnya setiap dia ngomel kayak gitu, nggak lama balik lagi seperti semula. Kami pun ngobrol lagi, mulai dari kerjaan, cerita di kantornya yang katanya mulai banyak drama, julid masalah instastory temen yang suka pamer, sampai ngomongin pengunjung kafe yang nggak kami kenal. Sesekali kami saling melempar guyonan yang sejujurnya terdengar garing, tapi tetap saja kami bisa tertawa. Mungkin selera humor kami sama-sama rendah.

"Eh besok lu ada acara nggak? Nonton yuk!" tanya gue memotong tertawanya.

"Emm, besok gue ada janji mau ketemuan sama Alvin. Lain kali aja deh, Fan."

"Alvin temen kantor lu itu?" Dia pernah cerita soal si Alvin ini. Dan seketika gue malas buat ketawa lagi.

"Iya. Sorry ya, Fan!"

"Jam berapa emang? Mau gue anter nggak?"

"Jam 3 sih, tapi nggak usah deh!"

"Udah nggak apa-apa. Gue jemput ya besok jam 3?"

"Okedeh kalau lu maksa. Lumayan ngehemat bayar ojol." Siska tertawa lagi. Tapi kali ini gue cuma tersenyum tipis. Gue penasaran mereka mau ngapain nantinya. Iya gue tahu kalau Alvin suka sama Siska. Dan gue juga tahu kalau Siska juga ada perasaan sama ke Alvin. Hah! Kenapa urusan hati ini selalu menjadi pelik?!

Sore itu.

Gue udah siap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Haha... bukan apa sih, cuma terkadang soal hati butuh kesiapan yang mumpuni.

Tepat pukul 3 sore, gue dan Siska sudah tiba di Mall tempat janjian.

"Lantai berapa sih?" tanya gue, berusaha buat baik-baik saja walaupun sebenernya ada yang mengganjal.

"Katanya sih lantai 3, disini." Siska melihat sekeliling sambil menekan smartphone-nya. "Itu kayaknya dia deh! Alvin!"

"Eh nggak teriak-teriak juga kali." Gue menyusul langkah dia yang mulai mendekat ke orang yang dimaksud.

Siska nggak peduli, dia tetap berteriak Alvin sambil mendekati orang itu. Orang itu menoleh cepat. Benar, dia orangnya.

"Eh sorry ya, Sis, udah lama ya nunggunya?" Basa-basi Alvin sesaat setelah tahu Siska ternyata yang memanggilnya. Mereka kemudian tos, tapi kenapa itu pegangan nggak lepas-lepas, ya?!

"Enggak, gue juga baru dateng kok," jawab Siska, "Eh iya, kenalin Alvin ini Irfan. Irfan ini Alvin."

Gue dan Alvin saling bersalaman. Gue tersenyum tipis, mencoba untuk tetap biasa saja. Ya bukannya emang biasa aja, harusnya. Tapi entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang mengganjal dan berkecamuk di dada. Entahlah.

Ternyata gue nggak siap.
Mereka terlihat benar-benar cocok. Saling bercanda, tertawa, bahkan sesekali mereka saling menggenggam tangan satu sama lain. Gue cuma bisa berjalan gontai dibelakang sambil berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas panjang.

"Eh Fan, lu mau makan nggak? Kita mau makan nih," tanya Siska mengaburkan lamunan gue.

"Emm..., kayaknya gue harus cabut dulu deh. Ada urusan mendadak nih. Sorry ya Sis, Vin!"

"Eh kok lu gitu sih?!" Siska berusaha menahan gue.

Sorry Sis, gue cuma nggak kuat sama keadaan ini.

"Sorry banget ya. Gue harus cabut sekarang."

Kini gue udah nyampai di parkiran. Terlihat langit agak mendung, persis seperti apa yang gue rasain. Mungkin semesta menyadarinya.

Gerimis mulai datang. Gue memutuskan untuk singgah terlebih dahulu ke kafe. Ya, mungkin hanya berteduh, atau sekadar menenangkan diri. Huh, kenapa gue bisa ngerasa kayak gini ya?

Gue sadar, gue bukan siapa-siapanya. gue bahkan nggak berhak melarang dia buat jalan dan ketemu siapapun. Gue juga tak berhak buat ngatur dia ingin menaruh perasaan itu ke siapa. Gue hanya teman dekat, yang sepertinya tugas gue hanya untuk menghiburnya saja kala dia sedih, sampai dia temukan orang yang jauh lebih bisa menghibur dan menemaninya. Nggak lebih.

Urusan perasaan itu? Sepertinya gue nggak perlu lagi mempedulikannya. Jika dia memang buat gue, gue yakin, kita akan bertemu pada satu tuju. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya saja 'kan?

Gue menatap tetesan air di balik jendela kafe. Hujan sore ini, gue harap akan ada pelangi yang datang.


0 komentar:

Posting Komentar

Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))