Cinta dalam Diam 2: Masih Sama

Bagian 2: sebuah kisah dalam diam lanjutan Bagian 1

"Tumben baru datang, Ca?" Aku mempercepat langkahku saat tahu dia berada di depan, berjalan sejajar dengannya, hendak memasuki gedung perkantoran ini. Basa-basi. 

"Eh?" Wanita yang tepat disampingku menoleh cepat, sepertinya aku sukses membuat dia terkejut. "Iya nih, Za, jalanan rame banget tadi. Mana sempet salah belok driver onlinenya." 

 Ya, dia adalah wanita yang sama, yang pernah aku jumpai di bangku SMA dulu. Wanita yang pernah aku idamkan. Pertemuan singkat dulu ternyata terbayar lunas dengan pertemuan kini. Setelah sekian purnama tak berjumpa, tepat 3 bulan lalu, dia kembali.

 Aku mengusap mata pagi itu saat dia menghampiri dan menugurku. Setengah mengantuk.

"Hai, kamu Reza 'kan?" Suara itu terdengar dari sisi kananku. Aku yang setengah kaget segera membenahi kacatama yang terpasang di dahi. Menoleh.

"Reza 'kan?" Dia mengulang kembali pertanyaan itu. Hei, siapa wanita yang berpakaian formal ini? Bagaimana dia bisa tahu namaku? Dahiku mulai mengerut. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk perlahan. Dia menarik kursi sebelah yang masih kosong, lantas duduk. Aku yang masih bingung siapa dia, mencoba mengingat-ingat. Tapi sepertinya tak ada bayangan sama sekali.

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kamu pasti masih ingat ini kan?"

Boneka penyu? Ingatanku seolah menarik mundur waktu ke masa itu. Masa putih abu-abu. Tepat saat aku mendatangi rumahnya untuk pertemuan yang terakhir kali. Cinta masa SMA yang dulu pernah ada.

"Chaca?" Aku berusaha menebak, dan pasti tebakanku benar.

"Akhirnya kamu ingat juga." Dia tersenyum kecil.

"Sorry, soalnya... agak... beda." Aku memutar-mutarkan jariku di dekat dahi. Mengisyaratkan disitulah perbedaannya. Sebenarnya dia masih sama seperti dulu, berkacamata, berkulit putih, hanya saja sekarang ditambah dengan hijab yang menambah anggun parasnya. Apalagi saat dia ternyum kecil tadi, adalah kombinasi yang sempurna dari sebuah definisi kata manis. "Kamu masih nyimpen itu?"

"Ya... penyu ini yang sering menemaniku kemana pun. Bukankah penyu adalah sebuah simbol kesetiaan? Sejauh apapun dia pergi, dia akan kembali pulang, 'kan?" Dia menyodorkan tangannya. "Aku anak baru disini. Baru hari ini mulai. Dan sepertinya kita satu tim ya?"

Kami pun larut dalam obrolan mengenang masa lalu. Mulai dari setelah dia pindah, kuliahnya, hingga bagaimana dia bisa diterima di kantor konsultan finance ini. Jika dipikir-pikir lucu juga memang. Sejak Chaca pindah, tak ada komunikasi sama sekali diantara kita. Mungkin aku terlalu penakut untuk menghubunginya lebih dulu, walau hanya bertanya kabar. Aku memang bukan pembuka pembicaraan yang baik. Tapi, walaupun tak ada komunikasi selama bertahun-tahun, mengapa tiba-tiba waktu mempertemukan kami kembali? Sebuah kebetulan kah? Aku tak percaya sebuah kebetulan. Bukankah semua sudah digariskan? Entahlah, lucu, juga membingungkan? Dan aku.... hey kenapa tiba-tiba perasaan itu muncul lagi? Perasaan yang masih sama seperti dulu.

Malam harinya, aku mengabarkan kepada Dika yang kini sedang melanjutkan study-nya di negeri seberang. Dia ambisius sekali mengejar pendidikan masternya di luar negeri. Padahal dia tak pintar-pintar amat.

"Kok bisa?!!" Dika terheran di ujung telepon sana. Aku hanya terkekeh. Ya ini memang sangat mengherankan.

Sejak perkenalan pagi itu, tak sulit bagi kami untuk dekat walau dengan obrolan yang sebenarnya itu-itu saja. Obrolan basa-basi yang sangat tidak penting, masalah kerjaan, hingga membicarakan atasan dan teman kantor. Meskipun aku bukan orang yang baik untuk mengawali pembicaraan, tapi aku selalu berusaha untuk memulai. Aku tak mau saat-saat dulu terulang lagi. Meskipun untuk beberapa topik dia hanya mengiyakan saja. Entahlah mungkin tak nyaman, atau sudah tahu kalau itu hanya sekadar basa-basi saja. Aku juga sering berusaha untuk melakukan sesuatu bersama dia, mulai kunjungan ke client, mengerjakan satu-dua hal, istirahat makan siang, hingga saat pulang kantor. Seolah semua berjalan tanpa disengaja. Entahlah.

"Tapi lu masih nyimpen rasa kan sama dia?" ujar Dika melalui telepon malam itu. Aku hanya terdiam. "Lu ungkapin aja kali. Heran dah, daridulu nggak pernah berubah."

"Tapi, kalau ternyata dia nggak punya perasaan yang sama, semua bakal berubah nggak sih? Semua bakal awkward, canggung, nggak sama lagi. Semua bakal...."

"Tapi kalau dia punya rasa yang sama?" Dika memotong pembicaraanku. "Kenapa nggak lu coba dulu? Mau sampai kapan lu diam-diam terus gini?"

Aku hanya menghela nafas.

Tiga bulan berlalu sejak pertemuan itu. Kami masih sering ngobrol hal-hal yang biasa-biasa saja, ataupun hanya sekadar basa-basi, seperti pagi ini.

"Yang penting kan bisa nyampai tepat waktu juga." Aku melanjutkan basa-basi itu.

"Iya sih," jawabnya singkat.

Ya, Semua seolah berjalan tak ada apa-apa. Tak ada yang perlu di-apa-apa-kan bukan? Aku suka dengan kami yang sekarang. Aku juga bahagia dengan keadaan sekarang. Dia selalu membawa keceriaan dengan cara sederhana. Biarkan semua berjalan sebagaimana mestinya saja, walau aku pun tak tahu bagaimana kelanjutannya. Semesta pasti punya cara dan jalannya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))