[Aksi Malam Jumat #2] Lorong Waktu: 31 Castle Village St.


Banyak kejadian aneh di sepanjang jalan Castle Village yang telah terkenal di setiap sudut kota. Menghebohkan. Konon, di KM 31 dari arah timur jalan itu berdiri kerajaan megah berlantai permata beratap intan tepat di tengah jalan. Tak terlihat memang, tapi masyarakat terlanjur yakin. Terlebih kala petang menjelang, tampak sekelebat bayang. Kerajaan setan, julukan kerajaan itu.
Namun, apa pun itu, Raka tak peduli. Dia tetap kemudikan mobilnya di jalan Castle Village kala sang mentari telah tenggelam dengan sempurna. Kala bintang telah menghiasi angkasa. Larut malam. Untunglah dia tak sendiri dalam mobil itu. Dimas, Naila, dan Rinai pun hadir pula di sana. Tertawa riang dalam banyolan. Hanyut dalam keceriaan.
“Ka, bukannya ini jalan Castle Village yang katanya penuh misteri itu, ya?” tanya Rinai yang duduk di belakang kala memasuki KM 1.
“Ini memang jalan Castle Village, tapi… kalau penuh misteri kayaknya nggak,” jawab Raka sembari masih mengemudikan stir mobil.
“Lu masih percaya misteri-misteri, Ai?” sahut Dimas yang duduk di samping Raka sembari menenggak minuman.
“Gue pernah baca artikel, katanya di jalan Castle ini horor, Dim,” jawab Rinai.
“Benar!” sahut Naila membenarnkan, “Gue juga pernah baca, di sini ada kerajaan setan gitu pokoknya. Di sini juga dikabarkan pernah hilang, lho!”
“Berita palsu kali, Nai!”
“Katanya sih asli. Tapi gue baca keseluruhan ceritanya juga kurang logis.”
“Lu mah aneh, Nai! Lu aja nggak percaya berita itu, malah diceritain ke kita,” sahut Dimas tertawa lebar.
Rinai lekas menyahut, menghentikan tawa lebar Dimas. “Udah lah, Naila ada benernya juga. Mending kita waspada aja.”
Mereka pun tetap melaju di jalan dua arah dua lajur itu. Jalanan yang kini telah sepi. Sesekali hanya satu truk yang melaju berlawan jalur. Sesekali mendahului. Lebih banyak tak ada sama sekali malah. Gelap. Hanya ada satu penerangan di setiap tiga-ratus meter. Tak kurang. Kanan-kiri pun tak ada penerangan dari rumah. Maklum saja, tak ada rumah di sepinggir jalan. Hanya sawah dan lahan kosong membentang luas.
Namun Raka masih melajukan kendaraan itu. Meski tak hingga tiga-puluh kilometer-per-jam. Untuk berjaga jika ada apa-apa.
Dimas menoleh ke arah belakang, berkata, “Gila, udah pada molor tuh cewek-cewek!”
“Ka, gue ngantuk, gue tinggal dulu ya!” lanjut Dimas, berpindah posisi senyaman mungkin untuk melanjutkan malam di alam mimpi.
Lhah, gue sendirian nih?!” jawab Raka.
“Udahlah, Ka, besok gantian gue yang nyetir.” Dimas berkata lirih, terpejam.
Walau semua telah pulas, Raka masih fokus dengan jalanan gelap nan sepi. Lampu jalan semakin jarang. Truk barang pun tak terpampang.
Tak ada hal aneh kala Raka kemudikan mobil itu. Semua seperti biasa. Pun saat melewati KM 31. Biasa. Tak ada suatu apa. Mobil melaju dengan tenang. Kini telah sampai di persimpangan. Pun seperti biasa. Ah, memang mobil ini melaju dengan biasa.
***
Pagi telah menjelang. Rembulan mulai menghilang. Ayam berkokok dengan lantang. Semua masih pulas tertidur di dalam mobil. Hingga seberkas sinar mulai menembus kaca mobil, tepat mengenai pelupuk mata Dimas. Silau.
Dimas meregangkan otot tubuhnya, mencoba membuka mata.
“Raka! Naila! Rinai!” pekik Dimas, “Bangun!!! Bangun!!!”
Naila dan Rinai pun mulai meregangkan otot, membuka mata.
“Lho… kok…! Kita di mana, Dim?” bingung Naila.
“Kok kita ada di dalam hutan? Ini bener nggak sih? Atau cuma mimpi?” cemas Rinai.
“Gue juga bingung. Kenapa tiba-tiba ada di sini?” Dimas pun mulai gelisah.
“Raka! Raka! Raka! Bangun, woy!” pekik Dimas sembari membangunkan Raka, menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tapi tak kunjung terbangun. Perasaan cemas mulai menjadi-jadi. Rinai dan Naila panik tak tertahan.
“Gimana nih, Dim?” cemas Rinai lagi, menggoyang-goyangkan kursi kemudi, hampir menangis, “Ayo, Raka, bangun!”
Nihil, Raka tak kujung bangun. Tertidur di stir mobil dengan tangan yang masih memegang stir dan tuas persneling.
“Kenapa bisa ada di sini?” bingung Dimas sembari membuka pintu. Keluar. Pun Rinai dan Naila.
Rinai tersandar di badan mobil. Matanya mulai basah. Keningnya mulai terjamah keringat dingin. Basah. Dikibaskannya poni itu kebelakang oleh tangan kanannya.
“Kita ini ada di mana coba? Huh…!” pasrah Rinai.
“Kalian tunggu sini dulu! Gue mau coba jalan-jalan cari pertolongan. Kalian tunggu di dalam mobil aja!” pekik Dimas, berjalan menjauh.
Dimas mulai berjalan menembus ilalang lebat. Sesekali binatang aneh muncul dalam pandangannya. Maklum saja, ini hutan paling dalam. Hei, lihat di batang pohon di sebelah tenggara yang dililit ular sepanjang dua meter itu. Besar, menyeramkan. Tapi Dimas masih berjalan dengan tenang ke arah selatan.
Satu jam berlalu. Tak ada tanda kehidupan manusia terlihat sejauh dia berjalan. Tak tahu lagi harus apa dan bagaimana. Namun, dia berusaha untuk tetap berjalan meski hati telah berkata, “Tidak!”
***
“Aduh, udah satu setengah jam tapi Dimas belum kembali juga!” cemas Naila, “Mana di sini tak ada sinyal handphone!”
“Sabar aja, Nai! Kita berdoa aja, semoga Dimas cepat dapat pertolongan!” tenang Rinai, merangkul sahabatnya.
Perasaan mereka mulai tak tenang. Firasat buruk mulai terkarang. Cemas, khawatir, ah semua bercampur menjadi satu. Terlebih sedari tadi, Raka masih saja dalam posisinya, tak bergerak sedikit pun. Tubuhnya dingin. Barangkali…, ah semoga tidak.
Mereka pun memutuskan keluar dari mobil. Mencoba berkeliling, mencoba mencari tahu sekeliling. Tapi, sama saja. Tak ada siapa-siapa di luar. Hanya ilalang yang hampir setinggi mobil sedan mereka. Sekali-dua terlihat ular di batang pohon jati.
“Nai, gue takut!” seru Rinai, memegang tangan sahabatnya erat, meneterskan air mata.
“Gimana kalau kita ikutan cari Dimas, sekalian cari pertolongan, Ai?” usul Naila. Rinai hanya mengangguk pelan. Lekas mereka mulai melangkah ke arah utara.
Malam hari telah tiba. Sudah satu hari penuh terlewati di dalam hutan tak bertuan ini. Terlebih mereka telah berpisah satu sama lainnya. Dimas kini berada di bawah pohon jati yang menjulang. Rinai dan Naila pun kini berada di bawah pohon jati yang menjulang. Hei, bukankah itu sama? Bukan! Pohon jati yang jauh entah berbilang berapa kilometer.
***
“Nai, udah jam berapa?” tanya Rinai sembari duduk beralaskan jaket, bersandar di pohon jati, “Huh, dingin banget!”
Hening.
“Nai, lu kenapa?” tanya Rinai lagi.
Hening. Naila tak menjawab lagi, masih duduk bersila tanpa alas dan tanpa sandaran. Tak bergerak sedikit pun.
Seketika, hanya sepersekian detik, tangan Naila telah berada di leher Rinai. Mencekik leher Rinai, dengan tatapan yang tajam.
“Na… Nai…, ke…napa lu cekik gu…e?” pekik Rinai terputus-putus. Namun, Naila terus mencekiknya. Terus mencekik, terus, terus, hingga kini Rinai tak berdaya. Tak sadarkan diri dalam gelap nan sunyinya hutan.
Naila melangkah pelan meninggalkan Rinai yang pingsan. Terus melangkah tanpa ada penerangan sedikit pun. Hei, melangkah ke mana dia?
***
Pun Dimas yang tak tahu arah, dia terus melangkah. Gelap gulita nan sunyi pula. Apa boleh buat, tak ada penerangan yang dia punya. Sesekali dia berhenti, beristirahat pada alas sekadarnya. Lantas bangun, melanjutkan perjalanan kembali.
Tapi, ternyata takdir berkata lain, Dimas menemui ajalnya tepat di jurang sedalam dua-puluh meter. Terjun bebas tak terhalang.
Jurang itu pun sebelumnya ternyata telah merenggut nyawa Naila. Pun terjun bebas bak Dimas.
***
Aneh, ternyata tak ada yang ingat dengan mereka. Pun orang tua mereka. Seketika lupa begitu saja. Tak pernah ingat sedikit pun. Mendadak lupa ingatan.
Sampai detik ini juga, tak diketahui lagi jasad mereka. Mobil yang mereka kendarai hilang dengan sekejap. Semua lenyap. Hilang ditelan kegelapan dan keheningan malam dalam kerajaan setan.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Nggak usah sungkan buat nanya atau nulis disini, selaw aja.
Jangan lupa klik iklannya juga ya, buat support kami :)))